Wednesday, November 16, 2011

Oleh-oleh dari Papua



“Mbak, aku mau pulang ke Malang nih. Kamu minta oleh-oleh apa?” Begitu bunyi pesan singkat yang masuk ke telepon genggam saya. Pesan itu berasal dari adik, seorang dokter, yang sedang bertugas di Papua.
            Pesan itu pun tidak segera saya balas. Karena pikiran saya sedang melayang-layang, membayangkan sesuatu yang umum di Papua, yang lazim juga dibawa untuk buah tangan. Namun sampai lama, yang ada di benak saya hanya koteka, panah dan pinang. Ah, rasanya semua itu tidak ada yang menarik, kecuali tentang koteka (hehehehe…kalau yang ini pasti khas Papua). Akhirnya pesan itu pun tak sempat saya balas.
            Tapi yang jelas, saya menanti-nantikan betul kedatangan adik laki-laki saya ini, Dokter Noegi Akas, yang memang telah sekian tahun lamanya tak bersua. Hingga dua minggu kemudian, ia mengabari lagi kalau sudah mendapatkan tiket penerbangan. Hingga sampai pada waktunya, ia muncul di bandara Juanda saat saya menjemputnya.
            Sesampai di rumah saya, di Surabaya, ia pun segera membongkar bawaannya yang aduhai. Dua buah koper besar dan sebuah kardus yang segede gambreng. Belum lagi tas jinjing berisi laptop serta ransel yang selalu menggantung mesra di pundaknya.
            Yang pertama dibuka adalah kardus besar itu. Di lapisan paling atas terdiri dari lipatan-lipatan koran. Setelah itu kain-kain handuk tebal. Dan dibawahnya lagi barulah tampak bulatan-bulatan kecil sebesar telur puyuh, berwarna ungu kehijauan. Astaganaga, ternyata saya dibawakan oleh-oleh buah matoa.
            Saya pun tersenyum-senyum memandang buah itu. Yang pertama karena takjub, baru pertama kali ini melihat buah matoa, yang konon disebut-sebut sebagai buah asli Papua. Sementara yang kedua, saya penasaran dengan rasanya, dan ingin segera mencobanya. Tapi saya sedikit mengalami kebingungan tentang bagaimana cara makannya.
            Sementara, Noegi sendiri, saat saya mintai referensi tentang bagaimana rasa buah itu, hanya mengangkat pundak dan alisnya. Artinya, dia memang juga belum pernah makan buah itu, walaupun sudah lama bermukim disana. Alamak..
            Dengan mengerahkan segala kemampuan dan keyakinan diri, saya pun mencoba mengambil sebutir buah itu dari dalam kotak. Dengan bantuan pisau, saya gurat kulitnya, yang ternyata agak tebal. Setelah luka guratan itu saya buka, ternyata di dalamnya ada daging putih, mirip rambutan atau kelengkeng. Ada sedikit air juga yang menggenang diantara kulit buah dan dagingnya itu.
            Gigitan pertama kecil saja, kemudian dikecap-kecap. Manis dan enak. Berikutnya, gumpalan agak besar masuk ke mulut, dan akhirnya tandas, menyisakan sebutir kecil biji keras. Dalam hati, saya ingin menanam biji itu, agar bisa melihat bagaimana bentuk sesungguhnya pohon matoa ini.
            Noegi pun kemudian saya interogasi tentang buah yang baru saya tahu itu. Ia lalu bercerita kalau matoa yang dibawanya itu jenis matoa kelapa. Ah, jenis apalagi itu, pikir saya. Buah tersebut baru dibelinya di Jayapura (Noegi sendiri bertugas di Enarotali), sesaat sebelum ia terbang ke Surabaya. Harga per kilonya 70 ribu rupiah. Wah, bukan harga yang murah, batin saya. Tapi memang sebanding dengan rasanya.
            Yah, sayangnya, saya harus puas dengan sekilo matoa dulu (karena ia juga harus membagikannya untuk keluarga yang lain). Padahal maksud hati masih ingin menikmati, karena belum puas dengan sensasi rasanya. Karenanya, tekad untuk menamam biji matoa itu pun terpatri di dalam hati.
            Kalaupun harus menunggu Noegi pulang kembali ke Papua dan berharap membawa matoa lagi, layaknya mimpi di siang hari. Karena ia masih harus menyelesaikan dulu program dokter spesialisnya di Malang kurang lebih hingga lima tahun mendatang. Tapi kalau menanam sendiri biji matoa itu, apakah lima tahun juga sudah menghasilkan buah? Ah, sudahlah. Yang penting saya sudah pernah merasakan sensasi buah matoa yang aduhai itu.(***)

No comments: