Friday, May 27, 2016

Serai Pengusir Nyamuk



Musim penghujan tiba. Yang jelas tergambar kalau musim ini sedang berlangsung adalah tanah di halaman selalu basah. Karena hampir setiap hari diguyur oleh air hujan. Dan pastinya di kebun belakang rumah tergenang air, karena kontur tanah yang lebih rendah daripada letak rumah tinggal yang memang ditinggikan.
            Hal kedua yang cukup membikin jengkel adalah kehadiran nyamuk-nyamuk nakal yang tak diundang. Apalagi konsep rumah kami adalah rumah kebun. Maksudnya rumah yang dikelilingi oleh kebun, dan itu adalah kebun sebenar-benarnya. Bukan hasil rancang bangun seorang ahli lansekap berbayar mahal hehehe…..
            Itulah mengapa, tiap kali menjelang senja, pintu dan jendela rumah segera saja ditutup. Tak lain untuk antisipasi agar nyamuk dari kebun tidak ekspansi ke kamar tidur kami. Obat pembasmi nyamuk pun dipasang disana sini. Kami semakin paranoid, ketika banyak berita beredar banyak korban dari gigitan nyamuk yang nyawanya tak terselamatkan. Walaupun sejatinya kami tahu kalau penyebab penyakit itu nyamuknya beraksi di pagi dan siang hari.
            Yang jelas, gigitan nyamuk, apapun jenisnya, memang sangat-sangat menjengkelkan. Bekas gigitan yang ditinggalkan, selain membuat bentol-bentol, rasa gatalnya tak kunjung hilang. Itulah yang membuat tangan ini ingin terus menggaruk dan menggaruk lagi. Hingga tak terasa kulit menjadi lecet, kadang sampai berdarah-darah.
             Berperang melawan nyamuk, membuat saya hampir putus asa. Tidak mungkin pula rumah ditutup rapat-rapat untuk menghindarinya. Yang ada malah kondisi rumah jadi pengap, karena tidak ada sirkulasi udara. Betapa sayangnya, oksigen gratis dan segar, yang dihasilkan oleh pohon-pohon di sekitar rumah, tersia-siakan begitu saja.
            Harapan pun hanya bergantung pada ‘obat nyamuk’. Berbagai varian sudah pernah dicoba. Mulai dari yang bakar, semprot, elektrik hingga yang losion. Dan saking penginnya proteksi lebih kepada anak-anak, tindakan kadang berlebihan. Tubuh diolesi losion, masih memasang pembasmi serangga elektrik pula. Dan di depan kamar tidur dipasangi obat nyamuk bakar.
            Daaaannnn….. budget untuk belanja begitu-begitu pun jadi bertambah. Jelas dong. Karena belinya harus bermacam-macam. Belum lagi protes dari si kecil, yang seringkali menolak diolesi losion. Alasannya lengket di badan. Padahal maksud emaknya ini kan sungguh sangat baik.
            Sebetulnya secara sadar, saya juga mengerti tentang efek yang akan ditimbulkan oleh berbagai macam obat nyamuk itu, yang notabene tak lepas dari bahan kimia berbahaya. Tapi apa mau dikata, pertolongan itulah yang masih mungkin terjangkau oleh tangan dan pikiran. Hingga suatu saat, seolah disentak, pikiran ini menjadi terbuka lebar. Angan jadi berbunga-bunga ketika melihat onggokan sampah serai, sisa-sisa dari pemakaian memasak.
            Seolah menemukan harta karun, sisa-sisa serai itu saya punguti kembali. Sambil mengerjakan ini dan itu, otak saya berjalan cepat, menghubungkan fakta dengan teori-teori yang pernah saya baca tentang serai.
Serai atau sereh mempunyai nama Latin Cymbopogon citratus. Merupakan tumbuhan anggota suku rumput-rumputan. Umumnya dimanfaatkan sebagai bumbu dapur, untuk mengharumkan makanan. Salah satu zat yang dikandung oleh tanaman serai ini adalah sitronela, yang tidak disukai oleh nyamuk.
Saya kemudian teringat dengan minyak serai, yang dulu selalu saya bawa, kala avonturir di hutan-hutan. Minyak serai ini adalah minyak atsiri yang diperoleh dengan jalan menyuling bagian atas dari tumbuhan tesebut. Karena kandungan sitronela itulah maka baik minyak serai, maupun tanamannya, bisa digunakan sebagai pengusir (repelen) nyamuk.
            Selesai memunguti serai sisa masak itu, saya pun menyiapkan beberapa wadah. Serai itu lantas saya potong-potong kecil. Bau harumnya masih menyengat, walaupun itu sudah sisa kemarin. Wadah-wadah itu kemudian saya letakkan di bawah tempat tidur. Di ruang tamu, ruang makan dan ruang keluarga juga saya beri, sehingga jadi semacam potpourri.
            Dalam beberapa hari saya merasakan ada perubahan yang signifikan. Biasanya kalau hari mulai gelap, nyamuk-nyamuk mulai mengeroyok bagian kaki saat kami sedang bersantai menonton TV. Saya juga mencoba untuk tidak menyalakan ‘obat nyamuk’ semalam. Hasilnya, aman dari serangan massal nyamuk. Potpourri itu saya ganti lagi dengan yang baru ketika sudah terlihat kering.
            Yang jelas, nyamuk-nyamuk nakal itu seolah tak lagi berani memasuki rumah. Karena disana-sini ada hembusan sintronela, yang bisa jadi membuatnya puyeng dan mabuk. Anak-anak juga lebih nyaman karena tidak lagi diuber-uber harus pakai losion yang lengket di kulit. Kehadiran bahan kimia berbahaya pun berangsur kurang. Entah di kebun sana, sekomplotan nyamuk sedang merencanakan serangan model apa lagi…(phi/280216)


Suami Yang Pelupa


Judul artikel di Harian Kompas itu cukup menggelitik pikiran saya. Dan bisa jadi itu pula yang menggoda pikiran saya untuk membuat tulisan ini. Betapa tidak. Dari judulnya saja, saya seakan mengiyakan dan mengamini akan hal itu. Ya, memang suami saya bisa jadi sebagai salah satu sosok yang dikategorikan sebagai mahluk pelupa itu. Tapi tentunya tulisan yang saya bagikan ini bukanlah untuk membuka aib suami sendiri. Namun lebih pada hanya sekadar berbagi pengalaman, bahwa orang pelupa itu konsekuensinya sangat berat.
            Ketika jaman masih pacaran, Mas Rudi sudah pernah mewanti-wanti saya. Intinya adalah bahwa dia itu sangat pelupa. Karenanya dia meminta agar saya sangat-sangat memaklumi keterbatasannya itu. Ya mungkin karena masih pacaran, dan frekuensi pertemuan kami yang sangat tidak intens karena kesibukan pekerjaan masing-masing, saya hanya menjawab dengan senyum dan anggukan saja.
            Hingga ketika kami sudah menikah, dan ‘berbulan madu’ ke Jogjakarta, penyakit pelupa itu baru sangat saya rasakan. Mengapa saya menulis bulan madu dalam tanda kutip? Alasannya, karena perjalanan kami berdua, masing-masing dibiayai oleh kantor. Alias mendapatkan tugas dari kantor masing-masing untuk liputan di Jogja, sembari menghabiskan waktu untuk sedikit bersenang-senang berdua, hehehe…
            Singkat cerita, kami berada di Jogja selama lima hari. Biasanya, setelah makan pagi di hotel, kami pun berangkat menjalankan tugas masing-masing. Malamnya kami baru kembali bertemu di hotel. Acara rutinnya dilanjutkan dengan makan malam dan jalan-jalan sebentar. Sengaja kami mengambil penginapan di sekitar Jalan Malioboro, agar akses pergerakan masing-masing bisa lincah. Sore itu kami janjian ketemu agak awal. Sehari menjelang kami pulang ke Surabaya, jadwal pekerjaan sudah tidak terlalu padat. Dan karena tidak punya tujuan pasti hendak kemana, kami pun malas pergi jauh-jauh. Akhirnya sebelum makan malam, kami masuk ke Toko Buku Gramedia di Malioboro Mall.
            Saat sedang serius mencari-cari buku, Mas Rudi pamit hendak ke toilet. Jawaban singkat pun terlontar dari saya, yang tidak memindahkan pandangan dari buku yang sedang saya kagumi. Kira-kira limabelas menit kemudian, dia sudah kembali menjejeri saya. Seolah ingin tahu apa yang sedang menarik perhatian saya. Belum lama, dia pun terlonjak kaget.
“Waduh, handphoneku ketinggalan di toilet,” katanya dengan nada sangat khawatir.
“Lho? Coba balik dan cari,” saya tak kalah kagetnya. Mas Rudi pun bergegas pergi. Tapi dalam hati saya tidak yakin kalau handphone itu bakal balik dengan selamat. Saya mencoba memanggil nomor itu, tapi jawabannya sudah tidak aktif. Saya pun hanya bisa menghembuskan nafas panjang.
            Prediksi saya betul. Mas Rudi kembali dengan wajah lesu. Melayang sudah itu handphone yang umurnya baru dua minggu. Kontan kami berdua kehilangan selera untuk melihat-lihat buku. Pundak saya direngkuhnya, dan diajaknya saya meninggalkan tempat itu. Sepanjang jalan, tak putus-putusnya dia menyesali kecerobohannya.
            Karena sudah kehilangan selera makan, malam itu kami pun hanya duduk berdiam diri di gerai McDonald, dengan kentang goreng dan jus jeruk di hadapan kami.
“Ya, inilah penyakitku. Sungguh merepotkan,” keluhnya berkali-kali. Saya pun hanya bisa menelan ludah. Tak bisa berkata-kata. Hanya bisa melihatnya terpuruk gara-gara handphone alat bantu kerjanya itu raib secepat kilat.
            Tidak hanya sampai disitu kejadian penyakit lupa membawa konsekuensi yang berat. Kejadian berulang ketika saya hendak melahirkan anak pertama kami. Sejak awal kami sudah sepakat kalau dana untuk lahiran dijadikan satu di rekening miliknya. Dia ingin saya bisa tenang menghadapi proses persalinan, tanpa diributi urusan keuangan dan lain sebagainya.
            Dan betul. Proses persalinan itu sedikit memerlukan perhatian yang agak serius. Karena ketuban pecah sebelum waktunya, sehingga airnya merembes terus. Saya pun harus masuk kamar bersalin dan berbaring, tidak boleh kemana-mana. Tangan dipasang infus. Hidung dipasangi bantuan oksigen. Dan diberi obat perangsang agar bayinya segera keluar sebelum air ketuban habis. Kalau dalam waktu 12 jam setelah obat perangsang masuk, dan bayi belum lahir, maka dengan terpaksa harus SC. Alamak, mendengar keputusan dokter itu, kepala saya langsung pening.
            Rasa mules di perut saya akibat reaksi obat perangsang semakin berlipat ketika mendengarkan pengakuan dari Mas Rudi kalau kartu ATM miliknya ketinggalan di mesin dan lupa mengambilnya kembali dua hari yang lalu. Dan itu baru diingatnya sekarang. Saya hanya bisa pasrah…..

            Penderitaan saya berkaitan dengan penyakit pelupa itu masih harus berlangsung hingga kini. Betapa tidak, setiap hari saya harus mendapatkan pertanyaan, dimana kunci kontak, dimana kacamata, dimana ini, dimana itu……haduuuuuhhhhhh (050216/phie)           

Saturday, December 5, 2015

Nasib Sekolah Favorit


Jarum jam di dinding rumah bagian belakang menunjuk di angka sembilan. Saya yang sedang sibuk di mini farm mengurusi bebek-bebek langsung terhenyak seketika. Walah, waktunya jemput sekolah si sulung Bram. Saya pun cepat-cepat bersiap, mengeluarkan kendaraan dari garasi, dan langsung meluncur. Biasanya perjalanan kurang dari 20 menit, saya sudah sampai di gerbang sekolah.
Tapi prediksi saya meleset. Sampai di perempatan RSUD, jalan ditutup. Padahal jarak sekolah dari situ hanya sekitar 300 meter. Saya menjulurkan badan untuk melihat apa yang terjadi di depan sana. Namun pandangan saya terganggu oleh gerombolan orang-orang. Dalam hati saya mengeluh. “Ah….. demo lagi demo lagi. Anakku bagaimana ini?”
Kompleks sekolah si Bram memang letaknya persis bersebelahan dengan Kantor Pemkab. Antara kelasnya dia dan bangunan kantor, dipisahkan pagar tembok saja. Selain itu masih pula bertetangga dengan kantor-kantor instansi pemerintahan yang lain di tembok sisi satunya. Gara-gara letaknya  yang seperti itu, tak jarang saya mesti berputar-putar untuk menuju sekolah hanya karena jalan harus ditutup untuk suatu acara.
Dalam bulan ini saja, demo besar-besaran menuntut kenaikan upah (atau upah yang layak sesuai UMK) sudah dua kali terjadi. Dalam hati saya menggumam, apakah mereka yang berdemo dan berorasi keras disertai ngotot ini juga sudah pernah berpikir, kontribusi apa yang sudah mereka berikan kepada perusahaan? Sebab sudah bukan rahasia lagi, kalau etos pekerja di Indonesia ini termasuk rangking tak diperhitungkan. Ah, tapi sudahlah. Itu urusan para pekerja. Yang jelas, di depan sekolah si Bram jalannya terblokir. Pintu pagar sekolah ditutup, sebagai tindakan preventif kalau saja terjadi kericuhan. Dan berkompi-kompi polisi bersiap-siap pengamanan di sepanjang pagar kompleks sekolah. Sementara gelombang konvoi para pekerja dengan mengendarai sepeda motor masih terus berdatangan.
Orangtua mana yang tidak miris dan kelabakan mendapati kenyataan seperti itu. Saat anaknya sedang berada di sekolah, tanpa pengawasan penuh dari kita, ada kejadian yang tidak bisa kita kendalikan. Ingin rasanya segera menyelamatkan anak dan membawanya pulang segera. Tapi tak bisa bergerak karena jalan ditutup. Sementara bertahan di sekolah juga belum tentu pilihan yang mengenakkan.

Nasib…nasib…. Maksud hati ingin anak mendapatkan pendidikan yang terbaik (menurut versi kita). Tapi di sisi lain selalu ada konsekuensinya. Ya seperti yang saya alami ini. Semoga saja hal seperti itu tidak terjadi sering-sering. Karena kalau saya berhitung, paling tidak dalam delapan tahun ke depan, saya masih akan lagi mengalami kejutan-kejutan seperti tadi siang. (jbg,22102015)

Bram di hari pertama masuk sekolah TK

Saturday, January 17, 2015

Kue Jahe


 Selama dua hari berturut turut saya sempat dibikin kelabakan oleh Si Sulung, Bram. Pasalnya dia sangat ngebet dengan yang namanya kue jahe bikinan ibunya. Masalahnya juga, saya belum pernah membikin makanan yang berjenis kukis beserta kerabatnya itu. Alhasil, internet pun menjadi andalan untuk memenuhi keinginan jagoan kecil saya tersebut.

            Itu semua gara-gara buku. Dia punya buku untuk mengenal warna-warna. Nah, diantara gambar-gambar yang mendeskripsikan warna coklat, terselip sebuah gambar kue jahe. Kukis itu berbentuk orang-orangan, dilengkapi dengan mata, mulut, hidung dan manset di lengannya, yang dibuat dengan icing sugar. Dia tunjuk gambar tersebut dengan jari mungilnya, sembari terus menginterogasi saya.
“Ibu, ini gambar apa?”
“Itu namanya kue jahe. Biasanya dibikin ketika Natal akan tiba.”
“Kue ini pasti enak. Ibu bisa bikin?”
Saya dibuat gelagapan. Alamak. Apa yang harus saya katakan?
“Nanti ibu coba bikin ya. Tapi sekarang ibu belum punya resep dan cara membikinnya. Bram tunggu ibu cari dulu ya,” ujar saya menghiburnya. Dia pun mengangguk dalam. Karena janji itulah, selama dua hari, setiap kali ketemu saya, dia selalu bertanya, “Ibu, kue jahenya sudah jadi?”
            Maka mau tak mau, saya harus berselancar dulu. Dengan kata kunci kue jahe, saya pun memanfaatkan kepandaian Mbah Google. Begitu ketemu resepnya, saya pun segera mencari bahan-bahan yang diperlukan. Untungnya bahan yang dipakai tidak macam-macam dan aneh-aneh. Sehingga saya bisa mendapatkannya di toko dekat rumah. Hanya yang jadi masalah, saya tidak punya cetakan kukis yang berbentuk orang-orangan. Demikian juga untuk mendapatkan icing sugarnya saya sedikit kesulitan. Karena harus mencarinya di toko bahan kue, yang jaraknya agak jauh dari rumah. Sementara, Bram sudah nagih terus janji saya.
            Akhirnya, cetakan saya bikin seadanya yang saya punya. Icing sugar pun tak usah dulu. Yang penting kue jahe segera terhidang. Sehingga menghindarkan saya dari kerisihan Bram yang selalu menanyakan kue jahenya apakah sudah jadi.
            Bak pembuat kue profesional, saya mencampur bahan ini dan itu menjadi adonan. Trampil sekali sih tidak. Tapi karena sejak kecil saya seringkali membantu Ibu dan Budhe membuat kue, jadi secara prinsip saya mengerti tentang dunia dapur seperti itu. Setelah kurang lebih sejam berkutat di dapur, semerbak wangi kue jahe mulai menguar ke udara. Sampai-sampai Mbah Kung yang sedang saya titipi Bhima, adiknya Bram, menyempatkan diri menengok ke dapur karena bau itu.
            Dan, voila…….. akhirnya kue jahe yang sudah jadi keluar dari oven. Kini saatnya tes rasa. Saya mengambil satu keping yang sudah dingin. Gigitan pertama langsung kres…… enak, manis dan krispi. Tidak mengecewakan untuk sebuah resep yang coba-coba.
            Suami dan Mbah Kung pun menjadi sasaran percobaan. Mereka saya sodori masing-masing sekeping. Dan komentar yang keluar juga sama. Enak. Giliran Bram yang masuk dapur, dia pun saya sodori sekeping. Digigitnya sedikit kemudian dikecap-kecap. Sisa gigitan itu pun dikembalikan kepada saya. “Ini apa Bu. Rasanya tidak enak,” katanya sambil ngeloyor pergi dari dapur tanpa perasaan bersalah.
            Olala…..saya tidak tahu harus ngomong apa. Rasanya gemes ingin menjitak kepalanya. Tapi juga ingin tertawa melihat kepolosan dan kejujuran seorang kanak-kanak. (***)
 
Kue jahe dengan cetakan seadanya

Kue Jahe Yang Sombong

Alkisah,  di sebuah desa di tepi hutan, hiduplah sepasang kakek dan nenek yang sudah tua. Mereka hanya hidup berdua karena tidak mempunyai anak. Untuk mengisi kesepian di hari tuanya, nenek pun sering membuat kue. Suatu hari, ia ingin membuat kue jahe.
            Nenek pun menyiapkan bahan-bahan yang diperlukan. Dengan sepenuh hati ia mengerjakannya. Kue jahe itu dibentuk seperti orang-orangan, lengkap dengan mata, hidung, mulut, tangan dan kakinya. Ketika hendak diangkat dari dalam oven, tiba-tiba kue jahe itu melompat keluar dan lari sekencang-kencangnya.
            Karena kaget, nenek pun berteriak memberitahu kakek kalau kue jahenya lepas. Mereka pun memburu kue jahe yang berlari sangat cepat itu. Kue jahe yang tahu kalau dirinya dikejar, semakin mempercepat larinya, sambil berteriak kegirangan. “Akulah Si Kue Jahe. Lariku sangat kencang. Tidak ada seorang pun yang bisa menangkapku. Tidak juga kakek dan nenek.”
            Di tengah jalan kue jahe bertemu dengan sapi. Si sapi tersebut melihat sepertinya kue jahe itu sangat enak untuk dimakan. Karenanya, ia pun segera mengejar kue jahe yang berlari kencang itu. Kue jahe yang tahu dirinya dikejar sapi, semakin mempercepat larinya dan berkata dengan sombongnya. “Akulah Si Kue Jahe. Lariku sangat kencang. Tidak ada seorang pun yang bisa menangkapku. Tidak juga kakek, nenek dan sapi.”
            Tak jauh dari situ, ada seekor kuda yang sedang merumput. Melihat kue jahe yang melompat-lompat dengan gesit, kuda pun terdorong untuk menangkap dan memakannya. Ia berpikir kalau kue jahe ini rasanya pasti lebih enak daripada rumput. Ia pun berusaha mengejar kue jahe itu. Tahu kalau kuda mengejar, kue jahe semakin sombong dan mempercepat larinya. “Akulah Si Kue Jahe. Lariku sangat kencang. Tidak ada seorang pun yang bisa menangkapku. Tidak juga kakek, nenek, sapi dan kuda.”
            Kejar-kejaran itu disaksikan oleh seekor ayam. Ia pun punya pikiran yang sama, kalau kue jahe itu enak dimakan. Melihat kue jahe yang melompat-lompat itu, ayam pun berusaha untuk menangkapnya. Tapi tangkapannya selalu luput. Kue jahe semakin sombong lagi. “Akulah Si Kue Jahe. Lariku sangat kencang. Tidak ada seorang pun yang bisa menangkapku. Tidak juga kakek, nenek, sapi, kuda dan ayam.”
            Kue jahe pun berlari makin kencang. Hingga ia bertemu rubah. Tapi anehnya, rubah itu tidak berusaha mengejar si kue jahe.
“Hei, rubah, apakah kau tidak ingin mengejar dan memakanku?” tanya kue jahe pada rubah. Rubah pun menanggapinya dengan acuh tak acuh.
“Tidak. Memangnya kamu enak dimakan?” rubah balik bertanya.
“Kalau kau tidak memakanku, aku akan beristirahat. Aku lelah berlari terus,” kata kue jahe.
“Ya, kalau capek, berhentilah dahulu disini,” sahut rubah, tetap dengan nada mengacuhkan.
            Karena merasa aman, kue jahe pun berhenti berlari dan beristirahat di dekat rubah. Tapi tanpa disangka-sangka, hap……dengan cepat rubah menangkap dan menelan kue jahe. Akhirnya kue jahe yang sombong itu tidak pernah lagi kembali pada kakek dan nenek. (***)
(Bram sering minta didongengi kisah ini sebelum berangkat tidur. Dan tidurnya pun bersama dengan buku yang ada gambar kue jahe).
Buku yang menginspirasi Bram tentang kue jahe

Wednesday, September 24, 2014

Mari Kita Ngopi


“Phie, kamu sudah bikin kopi?” Itulah pertanyaan rutin dari suami yang selalu mampir di telinga saya setiap pagi. Setidaknya untuk setahun belakangan ini. Entah mengapa dan apa yang menyebabkannya, sekarang ini dia sangat-sangat gandrung pada minuman yang bisa membuat orang jadi betah melek tersebut.
            Memang awalnya hanya coba-coba. Tapi semenjak merasakan kenikmatan dan sensasinya, kopi serasa membuatnya ketagihan. Bila pagi hari belum diawali dengan minum kopi, hari yang dilalui kurang begitu semangat. Begitu katanya tentang kedahsyatan kopi yang mengubah hidupnya.
            Sebetulnya kopi yang diminum itu juga tidak terlalu istimewa. Hanya kopi tubruk. Maksudnya bubuk kopi yang diseduh air mendidih, dengan tambahan sedikit sekali gula. Jenis bubuk kopinya pun juga tak selalu yang berkualitas terbaik. Atau menurut istilah banyolannya Cak Kartolo, ‘kopi nggereng’, angger ireng, asal hitam.
            Ngomong-ngomong tentang kopi, saya sendiri sebetulnya bukanlah seorang penggemar dan pecandu kopi. Walaupun begitu, kopi sudah menjadi kawan karib sejak saya masih kuliah. Kawan karib inilah penolong dan pendukung nomor satu, dikala saya harus begadang menyelesaikan laporan praktikum dan tugas kuliah lainnya.
            Tak dimungkiri, khasiat kopi sangat membantu saya, terutama ketika harus bertahan tidak memejamkan mata demi tanggung jawab yang harus tuntas. Tapi bedanya, jika suami saya lebih suka dengan kopi tubruk dengan gula minimalis, saya justru memilih kopi minimalis dengan tambahan krimer atau susu yang lumayan banyak. Bisa jadi, kopi ala saya itu menjadi bahan senyuman bagi pecinta kopi sesungguhnya. Ramuan kopi yang seperti itu saja sudah membuat saya tidak tertidur hingga menjelang pagi. Apalagi yang prosentase kopinya lebih banyak. Bisa-bisa saya tidak tidur hingga dua hari.
            Namun senyatanya, ramuan kopi ala saya itu ada alasannya. Perut saya langsung berasa perih jika minum kopi yang terlalu pekat. Belum lagi jantung berdebar serasa mau lepas dari tempatnya. Bukan melebih-lebihkan, tapi memang itulah kondisi yang terjadi. Sementara untuk bertahan bisa melek, satu-satunya yang bisa menolong hanyalah kopi. Sehingga untuk menyiasatinya, ya mesti dengan tambahan bahan-bahan lainnya agar kopinya tersamar.   
            Yang repot, ketika teman kantor atau kawan lain ada yang mengajak nongkrong untuk ngopi. Apalagi minum kopi sembari ngobrol di kafe atau tempat hang out, yang sekarang ini sudah menjadi gaya hidup. Ketika disodorkan pada pilihan kopi jenis yang mana, saya menjadi bingung. Hampir semua menu mengklaim kalau kopinya yang lebih berasa. Padahal saya tidak bisa. Ujung-ujungnya saya minta kopi instan yang rasanya sudah saya kenal, dan tentu rasa manisnya lebih dominan. Atau paling jelek kemungkinannya, pesan minuman coklat panas. Lebih aman untuk perut dan sistem pencernaan saya, hehehe….
            Kopi, engkau memang sosok misterius. Terutama untuk saya. Betapa tidak. Saya sangat memerlukan kehadirannya. Tapi keberadaannya secara utuh malah ditolak-tolak. Oh qahwah, kahveh, koffie, coffe, kopi, kupi …………. (***) 
Tak semangat mengawali hari tanpa kopi

Apa Nama Kopimu?

Bhima ikutan hang out. Minumnya cukup es teh

 Dulu, sajian kopi selalu diidentikkan dengan minuman yang berwarna hitam. Tapi tidak untuk sekarang ini. Minuman kopi sudah dibuat beragam, untuk memenuhi selera dan kebutuhan. Terlebih kegiatan minum kopi sudah menjadi sebuah tren.
            Banyak orang yang tidak tahan dengan kopi, saya salah satunya, yang dipaksa harus
 bersentuhan dengan kopi. Apalagi kalau mengikuti gaya hidup yang sedang berjalan saat ini. Dan tak afdol rasanya kalau datang nongkrong ke kedai kopi, tapi menu yang dipesan jauh dari yang berbau-bau kopi.
            Tapi bersyukur solusi itu sudah ada. Kini kopi dibikin dengan banyak cara dan rasa, sehingga menyamarkan ‘kedahsyatannya’ yang bisa bikin perut bergejolak. Walaupun masih ditambah bahan lain ini dan itu, tapi paling tidak unsur kopi masih terbawa.
            Kopi hitam. Minuman jenis ini yang paling banyak dijumpai dan selumrahnya minuman yang disebut kopi. Dibuat dari hasil ekstraksi langsung, dengan cara merebus biji kopi. Penyajiannya pun natural begitu saja, tanpa ditambahi bahan maupun perasa lain. Tentunya kopi yang seperti ini rasanya sangat pahit.
            Espresso. Kopi espresso dibuat dengan menggunakan uap, tidak diseduh. Biji kopi diekstraksi dengan uap panas pada tekanan tinggi. Hasilnya adalah cairan kopi yang berwarna hitam. Kopi ini siap untuk divariasi dengan bahan lain.
            Latte (coffe latte). Jenis kopi ini merupakan turunan dari espresso. Yaitu dengan mencampurkan espresso bersama susu, dengan perbandingan 3 :1.
            Macchiato. Minuman ini hampir sama dengan latte. Hanya saja rasio antara kopi dan susu adalah 4:1.
            CafĂ© au lait. Kopi yang serupa dengan caffe latte. Hanya saja menggunakan kopi hitam.
            Cappucino. Yaitu kopi yang ditambahi dengan susu, krim dan serpihan coklat. Biasanya serpihan coklatnya akan mengapung di atas kopi. Kalau diminum akan membawa sensasi tersendiri dengan adanya serpihan yang tertinggal di lidah.
            Dry cappucino. Jenis cappucino yang disajikan tanpa susu, dengan tambahan hanya sedikit krim.
            Frappe. Adalah jenis kopi espresso yang disajikan dingin.
            Irish coffe (kopi irlandia). Merupakan minuman kopi yang dicampur dengan wiski.
            Melya. Adalah kopi yang ditambahi dengan bubuk coklat dan madu.
            Kopi moka. Serupa dengan  latte dan cappucino, hanya ditambahi dengan sirup coklat.
      Oleng. Adalah kopi khas Thailand yang dimasak dengan jagung, kacang kedelai dan wijen.
      Kopi tubruk. Diklaim sebagai kopi khas Indonesia. Caranya membuat hanya dengan menyeduh bubuk kopi bersama gula dengan air mendidih. Sehingga ketika air sudah tandas, di dasar gelas terdapat sisa endapan. Dalam Bahasa Jawa, endapan itu disebut lethek. Di Tulungagung, Jawa  Timur, ada kebiasaan unik. Lethek itu biasanya dioleskan pada sebatang rokok sebelum dinyalakan. Tradisi yang tumbuh di kalangan warkop (warung kopi) ini disebut dengan budaya nyethe.    
      Melihat nama-nama kopi itu, saya pun sedikit berpikir. Lantas kopi ala saya itu masuk ke dalam jenis yang mana. Karena antara kopi dan krimer perbandingannya 1:4. Ya sudahlah. Apapun namanya, yang jelas komposisi kopi yang seperti itulah yang nyaman di perut saya. (***) 
Bram : Dik, kopimu yang mana?