Friday, December 5, 2008

Mi Lagi, Mi Lagi


Sesuai dengan janji yang sudah dibuat lewat telepon tadi siang, kita berdua sepakat untuk makan di luar sembari pulang kantor, karena di rumah saya tidak sempat memasak sehingga di meja tidak ada persediaan makanan. Sepanjang jalan, sambil naik Tiger kesayangan, perlahan-lahan kami menyusuri jalanan, kalau-kalau ada menu yang menarik perhatian kami.
Namun sudah bisa ditebak, mata kami berdua terlalu jeli untuk membaca tulisan pangsit mi, mi ayam, bakmi atau yang sejenisnya, yang biasanya terpampang di depan tempat makan tersebut. Entahlah, kenapa bisa begitu. Yang jelas, saat kami berencana untuk makan di luar, walaupun sudah mencanangkan untuk tidak memilih jenis mi dan sebangsanya, tetap saja pilihan terakhirnya itu juga. Bisa jadi karena tergelitik oleh pesona mi dan ketenarannya itulah tulisan ini pun lahir.
Bakmi atau mi, merupakan makanan yang sudah umum ditemui di Indonesia. Bahkan masing-masing daerah dan wilayah mempunyai andalan dan sebutannya sendiri-sendiri untuk jenis makanan ini. Orang menyebut Bakmi Jawa untuk mi, baik yang goreng maupun rebus, yang dimasak diatas tungku berbahan bakar arang dengan waktu memasaknya yang lama sekali. Sementara itu Mi Ayam Solo juga terkenal dimana-mana, dengan ramuan mie rebus yang dibagian atasnya diberikan ayam cincang berbumbu kecap. Mi Titi alias I Fu Mie ala Makassar juga mempunyai kelas penggemar tersendiri. Tampilan mi kering yang disiram dengan kuah kental berisi sayuran dan seafood ini menyerupai masakan cina yang juga sudah dikenal di Indonesia. Masih ada lagi Mi Aceh, yang pedasnya luar biasa, karena bumbunya yang kaya dengan rempah-rempah.
Itulah fenomena mi, yang sudah melanda Indonesia dan memperkaya khazanah kulinarinya. Sebetulnya tidak hanya itu. Mi juga dikenal di belahan negara lain, dan bisa jadi keberadaannya juga sama ngetopnya dengan di Indonesia. Hanya saja, nama, bentuk dan bahan penyusun serta cara pembuatannya berbeda-beda sesuai dengan budaya dan teknologi masing-masing negara.
Dalam bukunya yang berjudul Upaboga di Indonesia (Ensiklopedi Pangan dan Kumpulan Resep), ahli boga Suryatini N Ganie menyebut, bahwa mi terbuat dari tepung terigu, berbentuk pipih memanjang dengan diameter sekitar 0,2 cm.
Kata mi dan bakmi, dalam bahasa Belanda dan bahasa Jerman berasal dari bakmi, diperkenalkan di Indonesia selama masa kolonial Belanda. Makanan ini bukanlah asli dari Indonesia, tapi berasal dari negeri Tiongkok. Tak begitu jelas kapan dan bagaimana makanan ini masuk ke wilayah Nusantara. Penjelasan yang masuk akal, makanan ini bisa jadi dibawa oleh kaum pedagang dari negeri Cina ratusan tahun yang lalu.
Sementara itu, tentang asal usul mi dan siapa yang mula-mula membuatnya masih menjadi perdebatan. Disebut-sebut bahwa masyarakat Tiongkok telah mengenal mi sejak ribuan tahun sebelum Masehi. Tetapi ada pula yang mengatakan sekitar tahun 100 Masehi dan berasal dari daerah utara Tiongkok. Namun catatan tertua yang ada menyebut bahwa mi telah ada sejak jaman Dinasti Han Timur, antara tahun 25 dan 220 Masehi. Sementara itu, pada Oktober 2005, mi tertua yang diperkirakan berusia 4.000 tahun ditemukan di Qinghai, Tiongkok.
Bangsa Arab juga mengklaim sudah mengenal makanan ini sejak abad ke 5 Masehi. Itu dibuktikan dengan adanya tulisan dalam bentuk bahasa Arab kuno di daerah Yerusalem, yang menceritakan soal makanan yang serupa dengan mi, yang dimasak dengan cara direbus.
Sementara itu, Marcopolo juga mengklaim dirinya sebagai orang yang mempopulerkan mi. Konon ia terkesan akan pembuatan makanan pokok berupa benang-benang terigu panjang, yang dibuat oleh para koki di dapur kerajaan Cina. Ia pun kemudian membawa pengetahuan itu kembali ke tanah airnya, dinama makanan tersebut kemudian dikembangkan lebih luas menurut selera setempat. Tetapi orang Italia sendiri menolak klaim tersebut. Mereka mengatakan kalau 24 tahun sebelum kepulangan Marcopolo dari Asia, prajurit-prajurit di Italia dari daerah Genoese telah membekali diri mereka dengan pasta kering, yang diperkenalkan oleh bangsa Arab ketika menduduki Sisilia.
Mi disebut dengan nama yang berbeda di masing-masing negeri. Mi yang berasal dari Tiongkok lazim disebut sebagai bihun, kwetiau, ifumie atau mi china. Sementara itu di Jepang lebih sering disebut dengan nama udon. Untuk mi yang berkuah disebut ramen. Pasta, pasta rebus dan spageti adalah mi yang berasal dari Italia. Sedang di India lebih dikenal dengan wai-wai. Mi telur segar asal Timur Tengah diberi nama reshteh, sementara mi dengan kuning telur asal selatan Jerman disebut sebagai spƤtzle.
Mi juga dibedakan berdasarkan bahan baku pembuatannya. Lagi-lagi ini berhubungan dengan kondisi geografis sebuah negeri. Di Tiongkok bagian selatan, mi yang berbahan dasar beras mudah sekali ditemukan, karena di kawasan tersebut padi tumbuh dengan suburnya. Dari situ mi kemudian menyebar ke Asia Tenggara seperti Thailand, Laos, Kamboja dan sekitarnya. Sedangkan mi yang berbahan dasar terigu lebih banyak ditemukan di Tiongkok bagian utara. Jenis mi inilah yang kemudian banyak ditemukan di Jepang, Korea, Philipina, Taiwan, Malaysia, India dan Indonesia.
Mi mengandung banyak sekali karbohidrat, namun rendah protein. Kaum Tionghoa percaya bahwa mi adalah lambang panjang umur. Karena itu dalam setiap acara ulang tahun makanan yang satu ini tidak boleh ketinggalan. Bisa jadi bentuk mi yang panjang itu sebagai sebuah harapan akan datangnya umur yang lebih panjang. Memang mi itu enak sih

Mi Tertua

Sebuah serpihan berwarna kuning sepanjang kurang lebih 50 cm, ditemukan dalam sebuah periuk yang terpendam ketika terjadi banjir berabad-abad yang lampau. Berdasarkan hasil tes radiokarbon, material yang berasal dari Lajia, situs arkeologi yang berada di samping Sungai Kuning, Cina, diindikasikan sebagai makanan yang kira-kira sudah berumur 4000 tahun.

Para ilmuwan menduga bahwa makanan yang disebut sebagai mi itu dibuat dari tepung yang berasal dari rumput. Tidak seperti jenis mi modern yang telah dibuat dari tepung terigu. Penemuan itu juga masih menjadi perdebatan, tentang siapa yang mula-mula membuat makanan yang berupa helaian-helaian itu.
Penelitian menunjukkan bahwa mi pertama kali dibuat di Cina. Ini berdasarkan riset yang dilakukan oleh Institute of Geology and Geophysics, Chinese Academy of Sciences, Beijing, seperti yang dituturkan kepada BBC News.
Lajia merupakan situs arkeologi yang terletak di Sungai Kuning. Diduga wilayah itu hilang karena terendam banjir. ”Berdasarkan penelitian geologi dan arkeologi, telah terjadi gempa bumi dahsyat yang menyebabkan wilayah itu tergenang air,” demikian penjelasan Profesor Kam-biu Liu dari Louisiana State University, Amerika Serikat. Lajia merupakan sebuah situs yang menarik, karena disitulah Pompeii of China.
Mi hasil temuan itu disebut sebagai La-Mian, yaitu mi tradisional cina yang dibuat dengan cara menarik ulur adonan menggunakan tangan. Diperkirakan bahan yang digunakan adalah tepung foxtail (Setaria italica) dan tepung broomcorn (Panicum miliaceum). Kedua jenis tanaman itu merupakan rumput-rumputan asli negeri Cina. Hal itu berbeda dengan bentuk mi modern cina sekarang ini, atau pasta Italia yang terbuat dari tepung gandum. (phie)

Berburu Mi di Malang

Hot Cui Mi, makan mi bersama mangkuknya. Tulisan itu kami temukan dalam sebuah selebaran, entah siapa yang meletakkannya di depan pintu rumah. Kami berdua saling berpandangan dan menaikkan alis, lantas saling melempar senyum. ”Perlu kita buktikan,” begitu ujar mantan pacar, yang tak lama lagi akan menjadi pendamping hidup saya.

Malang surga makanan. Bisa jadi sebutan itu benar adanya. Itulah mengapa, walaupun status pekerjaan dan kantor berada di Surabaya, saya berat sekali untuk meninggalkan Malang dengan kelebihan yang dipunyainya itu. Karenanya dengan rela hati saya pun bolak balik Surabaya Malang setiap beberapa hari sekali. Saat menyenangkan adalah ketika kembali ke Malang. Selain kangen dengan hawanya yang lebih segar daripada di Surabaya, kami berdua pun punya kegiatan rutin yang tidak bisa dilewatkan, yaitu berburu bakmi, cui mi atau sebangsanya.
Orang bisa saja mengatakan kalau kebiasaan kami berdua aneh. Tiada bosan-bosannya kami berburu dan mengapresiasi segala macam bentuk mi yang kami temui. Mulai dari mi kelas pinggiran yang dijual di warung kaki lima, hingga mi yang berkelas depot dan rumah makan beken.
Mi yang banyak ditemui di Malang adalah jenis mi yang lebih dominan dengan gaya masakan Cina. Beberapa diantaranya bahkan sudah dikenal sejak lama. Sebut saja Bakmi Gajah Mada, Bakmi Gang Jangkrik, atau Bakmi Gloria yang sudah terkenal diantero Malang Raya. Demikian juga dengan Pangsit Mi Dempo yang warungnya persis melekat di tembok belakang SMAK Santo Albertus, atau yang lebih dikenal dengan nama SMA Dempo. Atau Pangsit Mi Bromo Pojok, yang dulunya memang terletak di pojokan Jalan Bromo, serta Pangsit Mi Oro Oro Dowo yang buka warung di dekat pasar Oro Oro Dowo.
Itu hanya beberapa tempat yang sudah menjadi ikon bakmi di kota Malang. Belum lagi gerai-gerai baru yang terus mengembangkan diri dengan mengambil segmen pasar penggemar mi lainnya. Sebut saja Hot Cui Mi yang menawarkan sensasi cara makan mi dengan mangkuknya. Ada lagi Bakmi Sumpit, yang dalam kenyataannya tidak pernah dilengkapi sumpit dalam penyajiannya. Di halaman kelenteng Ang En Kiong pun juga ada sebuah warung pangsit mi yang bisa menjadi pilihan lainnya. Namun kebanyakan orang sedikit ragu ketika memasukinya. Bisa jadi perasaan yang tidak enak, karena warung itu berada di halaman tempat ibadah. Tapi kalau berbicara soal rasa, tidak ada istilah menyerah untuk memburunya.
Varian bakmi yang ditawarkan oleh Bakmi Gajah Mada, Bakmi Gang Jangkrik Bakmi Gloria dan Pangsit Mi Bromo Pojok hampir seragam, yaitu lebih mengarah pada gaya masakan cina. Berupa onggokan mi rebus, yang diatasnya ditaburi potongan ayam serta daun bawang. Sebagai pemanisnya dilengkapi dengan daun slada, dan biasanya ada pangsit rebus yang tersembunyi di bawah tumpukan mi. Kuah bening ditempatkan terpisah di sebuah mangkuk kecil. Penggemar mi juga masih diberi pilihan lain untuk kelengkapannya, yaitu berupa irisan jamur, ampela hati ataupun dicampuri dengan pentolan bakso.
Sekadar tambahan info, di tempat-tempat itu ada pula jenis makanan lain yang bisa jadi harus dicoba, yaitu siomay. Siomay ini terbuat dari daging ikan atau udang yang sudah dicampur dengan tepung, kemudian dibungkus dengan kulit pangsit lalu dikukus. Biasanya dalam satu porsi, berisi dua buah siomay yang ukurannya lumayan besar dan penyajiannya dilengkapi dengan kuah yang segar. Nikmat sekali kalau dimakan saat masakan itu masih hangat.
Sementara Pangsit Mi Dempo, modelnya juga tidak berbeda jauh. Hanya saja tempatnya agak sedikit minggir dan kelas anak-anak sekolahan. Untuk menikmati menu disini disarankan untuk tidak menambahkan kuah terlalu banyak. Karena akan menghilangkan rasa. Sebab bumbu-bumbunya akan larut dalam kuah itu. Makan mi disini kurang lengkap juga kalau tidak disertai jus alpukat moka yang juga sebagai menu andalan di warung yang terletak di Jalan Gede itu.
Hot Cui Mi menawarkan sensasi lain lagi. Disebut-sebut bahwa disini kita bisa makan mi bersama dengan mangkuknya. Senyatanya, mangkuk yang bisa dimakan itu adalah sebentuk pangsit goreng yang ukurannya bisa menampung seporsi bakmi. Pangsit besar itu sendiri ditempatkan diatas sebuah mangkuk. Varian mi yang dihidangkan pun tak beda jauh dengan yang lain. Hanya saja, pangsit goreng itu bisa dimakan sampai habis. Dan yang jelas, keberadaan mi akan akan tetap abadi, seabadi penggemarnya.