Saturday, January 17, 2015

Kue Jahe


 Selama dua hari berturut turut saya sempat dibikin kelabakan oleh Si Sulung, Bram. Pasalnya dia sangat ngebet dengan yang namanya kue jahe bikinan ibunya. Masalahnya juga, saya belum pernah membikin makanan yang berjenis kukis beserta kerabatnya itu. Alhasil, internet pun menjadi andalan untuk memenuhi keinginan jagoan kecil saya tersebut.

            Itu semua gara-gara buku. Dia punya buku untuk mengenal warna-warna. Nah, diantara gambar-gambar yang mendeskripsikan warna coklat, terselip sebuah gambar kue jahe. Kukis itu berbentuk orang-orangan, dilengkapi dengan mata, mulut, hidung dan manset di lengannya, yang dibuat dengan icing sugar. Dia tunjuk gambar tersebut dengan jari mungilnya, sembari terus menginterogasi saya.
“Ibu, ini gambar apa?”
“Itu namanya kue jahe. Biasanya dibikin ketika Natal akan tiba.”
“Kue ini pasti enak. Ibu bisa bikin?”
Saya dibuat gelagapan. Alamak. Apa yang harus saya katakan?
“Nanti ibu coba bikin ya. Tapi sekarang ibu belum punya resep dan cara membikinnya. Bram tunggu ibu cari dulu ya,” ujar saya menghiburnya. Dia pun mengangguk dalam. Karena janji itulah, selama dua hari, setiap kali ketemu saya, dia selalu bertanya, “Ibu, kue jahenya sudah jadi?”
            Maka mau tak mau, saya harus berselancar dulu. Dengan kata kunci kue jahe, saya pun memanfaatkan kepandaian Mbah Google. Begitu ketemu resepnya, saya pun segera mencari bahan-bahan yang diperlukan. Untungnya bahan yang dipakai tidak macam-macam dan aneh-aneh. Sehingga saya bisa mendapatkannya di toko dekat rumah. Hanya yang jadi masalah, saya tidak punya cetakan kukis yang berbentuk orang-orangan. Demikian juga untuk mendapatkan icing sugarnya saya sedikit kesulitan. Karena harus mencarinya di toko bahan kue, yang jaraknya agak jauh dari rumah. Sementara, Bram sudah nagih terus janji saya.
            Akhirnya, cetakan saya bikin seadanya yang saya punya. Icing sugar pun tak usah dulu. Yang penting kue jahe segera terhidang. Sehingga menghindarkan saya dari kerisihan Bram yang selalu menanyakan kue jahenya apakah sudah jadi.
            Bak pembuat kue profesional, saya mencampur bahan ini dan itu menjadi adonan. Trampil sekali sih tidak. Tapi karena sejak kecil saya seringkali membantu Ibu dan Budhe membuat kue, jadi secara prinsip saya mengerti tentang dunia dapur seperti itu. Setelah kurang lebih sejam berkutat di dapur, semerbak wangi kue jahe mulai menguar ke udara. Sampai-sampai Mbah Kung yang sedang saya titipi Bhima, adiknya Bram, menyempatkan diri menengok ke dapur karena bau itu.
            Dan, voila…….. akhirnya kue jahe yang sudah jadi keluar dari oven. Kini saatnya tes rasa. Saya mengambil satu keping yang sudah dingin. Gigitan pertama langsung kres…… enak, manis dan krispi. Tidak mengecewakan untuk sebuah resep yang coba-coba.
            Suami dan Mbah Kung pun menjadi sasaran percobaan. Mereka saya sodori masing-masing sekeping. Dan komentar yang keluar juga sama. Enak. Giliran Bram yang masuk dapur, dia pun saya sodori sekeping. Digigitnya sedikit kemudian dikecap-kecap. Sisa gigitan itu pun dikembalikan kepada saya. “Ini apa Bu. Rasanya tidak enak,” katanya sambil ngeloyor pergi dari dapur tanpa perasaan bersalah.
            Olala…..saya tidak tahu harus ngomong apa. Rasanya gemes ingin menjitak kepalanya. Tapi juga ingin tertawa melihat kepolosan dan kejujuran seorang kanak-kanak. (***)
 
Kue jahe dengan cetakan seadanya

Kue Jahe Yang Sombong

Alkisah,  di sebuah desa di tepi hutan, hiduplah sepasang kakek dan nenek yang sudah tua. Mereka hanya hidup berdua karena tidak mempunyai anak. Untuk mengisi kesepian di hari tuanya, nenek pun sering membuat kue. Suatu hari, ia ingin membuat kue jahe.
            Nenek pun menyiapkan bahan-bahan yang diperlukan. Dengan sepenuh hati ia mengerjakannya. Kue jahe itu dibentuk seperti orang-orangan, lengkap dengan mata, hidung, mulut, tangan dan kakinya. Ketika hendak diangkat dari dalam oven, tiba-tiba kue jahe itu melompat keluar dan lari sekencang-kencangnya.
            Karena kaget, nenek pun berteriak memberitahu kakek kalau kue jahenya lepas. Mereka pun memburu kue jahe yang berlari sangat cepat itu. Kue jahe yang tahu kalau dirinya dikejar, semakin mempercepat larinya, sambil berteriak kegirangan. “Akulah Si Kue Jahe. Lariku sangat kencang. Tidak ada seorang pun yang bisa menangkapku. Tidak juga kakek dan nenek.”
            Di tengah jalan kue jahe bertemu dengan sapi. Si sapi tersebut melihat sepertinya kue jahe itu sangat enak untuk dimakan. Karenanya, ia pun segera mengejar kue jahe yang berlari kencang itu. Kue jahe yang tahu dirinya dikejar sapi, semakin mempercepat larinya dan berkata dengan sombongnya. “Akulah Si Kue Jahe. Lariku sangat kencang. Tidak ada seorang pun yang bisa menangkapku. Tidak juga kakek, nenek dan sapi.”
            Tak jauh dari situ, ada seekor kuda yang sedang merumput. Melihat kue jahe yang melompat-lompat dengan gesit, kuda pun terdorong untuk menangkap dan memakannya. Ia berpikir kalau kue jahe ini rasanya pasti lebih enak daripada rumput. Ia pun berusaha mengejar kue jahe itu. Tahu kalau kuda mengejar, kue jahe semakin sombong dan mempercepat larinya. “Akulah Si Kue Jahe. Lariku sangat kencang. Tidak ada seorang pun yang bisa menangkapku. Tidak juga kakek, nenek, sapi dan kuda.”
            Kejar-kejaran itu disaksikan oleh seekor ayam. Ia pun punya pikiran yang sama, kalau kue jahe itu enak dimakan. Melihat kue jahe yang melompat-lompat itu, ayam pun berusaha untuk menangkapnya. Tapi tangkapannya selalu luput. Kue jahe semakin sombong lagi. “Akulah Si Kue Jahe. Lariku sangat kencang. Tidak ada seorang pun yang bisa menangkapku. Tidak juga kakek, nenek, sapi, kuda dan ayam.”
            Kue jahe pun berlari makin kencang. Hingga ia bertemu rubah. Tapi anehnya, rubah itu tidak berusaha mengejar si kue jahe.
“Hei, rubah, apakah kau tidak ingin mengejar dan memakanku?” tanya kue jahe pada rubah. Rubah pun menanggapinya dengan acuh tak acuh.
“Tidak. Memangnya kamu enak dimakan?” rubah balik bertanya.
“Kalau kau tidak memakanku, aku akan beristirahat. Aku lelah berlari terus,” kata kue jahe.
“Ya, kalau capek, berhentilah dahulu disini,” sahut rubah, tetap dengan nada mengacuhkan.
            Karena merasa aman, kue jahe pun berhenti berlari dan beristirahat di dekat rubah. Tapi tanpa disangka-sangka, hap……dengan cepat rubah menangkap dan menelan kue jahe. Akhirnya kue jahe yang sombong itu tidak pernah lagi kembali pada kakek dan nenek. (***)
(Bram sering minta didongengi kisah ini sebelum berangkat tidur. Dan tidurnya pun bersama dengan buku yang ada gambar kue jahe).
Buku yang menginspirasi Bram tentang kue jahe