Saturday, December 5, 2015

Nasib Sekolah Favorit


Jarum jam di dinding rumah bagian belakang menunjuk di angka sembilan. Saya yang sedang sibuk di mini farm mengurusi bebek-bebek langsung terhenyak seketika. Walah, waktunya jemput sekolah si sulung Bram. Saya pun cepat-cepat bersiap, mengeluarkan kendaraan dari garasi, dan langsung meluncur. Biasanya perjalanan kurang dari 20 menit, saya sudah sampai di gerbang sekolah.
Tapi prediksi saya meleset. Sampai di perempatan RSUD, jalan ditutup. Padahal jarak sekolah dari situ hanya sekitar 300 meter. Saya menjulurkan badan untuk melihat apa yang terjadi di depan sana. Namun pandangan saya terganggu oleh gerombolan orang-orang. Dalam hati saya mengeluh. “Ah….. demo lagi demo lagi. Anakku bagaimana ini?”
Kompleks sekolah si Bram memang letaknya persis bersebelahan dengan Kantor Pemkab. Antara kelasnya dia dan bangunan kantor, dipisahkan pagar tembok saja. Selain itu masih pula bertetangga dengan kantor-kantor instansi pemerintahan yang lain di tembok sisi satunya. Gara-gara letaknya  yang seperti itu, tak jarang saya mesti berputar-putar untuk menuju sekolah hanya karena jalan harus ditutup untuk suatu acara.
Dalam bulan ini saja, demo besar-besaran menuntut kenaikan upah (atau upah yang layak sesuai UMK) sudah dua kali terjadi. Dalam hati saya menggumam, apakah mereka yang berdemo dan berorasi keras disertai ngotot ini juga sudah pernah berpikir, kontribusi apa yang sudah mereka berikan kepada perusahaan? Sebab sudah bukan rahasia lagi, kalau etos pekerja di Indonesia ini termasuk rangking tak diperhitungkan. Ah, tapi sudahlah. Itu urusan para pekerja. Yang jelas, di depan sekolah si Bram jalannya terblokir. Pintu pagar sekolah ditutup, sebagai tindakan preventif kalau saja terjadi kericuhan. Dan berkompi-kompi polisi bersiap-siap pengamanan di sepanjang pagar kompleks sekolah. Sementara gelombang konvoi para pekerja dengan mengendarai sepeda motor masih terus berdatangan.
Orangtua mana yang tidak miris dan kelabakan mendapati kenyataan seperti itu. Saat anaknya sedang berada di sekolah, tanpa pengawasan penuh dari kita, ada kejadian yang tidak bisa kita kendalikan. Ingin rasanya segera menyelamatkan anak dan membawanya pulang segera. Tapi tak bisa bergerak karena jalan ditutup. Sementara bertahan di sekolah juga belum tentu pilihan yang mengenakkan.

Nasib…nasib…. Maksud hati ingin anak mendapatkan pendidikan yang terbaik (menurut versi kita). Tapi di sisi lain selalu ada konsekuensinya. Ya seperti yang saya alami ini. Semoga saja hal seperti itu tidak terjadi sering-sering. Karena kalau saya berhitung, paling tidak dalam delapan tahun ke depan, saya masih akan lagi mengalami kejutan-kejutan seperti tadi siang. (jbg,22102015)

Bram di hari pertama masuk sekolah TK