Saturday, December 12, 2009

Nasib Cincin Kawin



Saya masih teringat guyonan (atau mungkin juga tekad?) ketika masih belum menikah dulu, tentang cincin kawin. Saat itu saya mengatakan,
kalau menikah nanti tidak ingin memilih cincin untuk lambang ikatannya. Tapi lebih memilih sebentuk gelang kaki, yang saya yakini lebih pas dengan hati dan keinginan saya. Hal itu saya yakini betul bisa terlaksana mulus. Tapi kenyataan berkata lain. Sepasang cincin kawin yang sudah diberkati oleh Romo itu, akhirnya salah satunya harus diselipkan di jari manis tangan kanan saya.

Rupanya tidak hanya saya yang bermasalah dengan cincin kawin itu. Calon suami saya juga mempunyai permasalahannya sendiri. Ia berkata kalau tidak biasa memakai asesoris yang melekat di badannya. Apalagi kalau ada cincin yang menyelip diantara jari-jari tangannya, seolah ada sesuatu yang mengganjal dan mengganggu aktivitasnya. Karenanya ia bertekad pula, kalau setelah acara pemberkatan nanti, cincin itu akan dilepas dan disimpan saja.

Karenanya, kurang tiga minggu dari hari pemberkatan perkawinan, kami berdua seolah tidak kebingungan memesan cincin. Karena kami beranggapan kalaupun tidak memakai cincin juga tidak masalah. Bagi kami, arti dari perkawinan itu lebih pada meneguhkan komitmen bersama, dan cincin itu hanyalah sebagai perlambangnya. Itulah mengapa sampai akhir menjelang hari-hari terpenting itu tiba, cincin tidaklah masuk dalam skala prioritas utama.

Sampai ketika saatnya kami harus bertemu lagi dengan Romo untuk persiapan pembuatan liturgi pemberkatan. Dalam tata ibadah itu disebutkan ada bagian pemberkatan cincin perkawinan. Saya terhenyak. Wah, ini berarti harus pesan cincin. Pertanyaan lain pun mulai beterbangan di angan saya. Apakah waktunya cukup untuk memesan cincin yang sesuai dengan keinginan? Bagaimana modelnya? Berapa beratnya? Pesan dimana?

Dalam waktu yang sesingkat itu, akhirnya kami memutuskan untuk memesan cincin. Tapi masih ada kesulitan lain yang harus dihadapi. Kami tidak pernah bisa jalan dan pergi bersama untuk mewujudkan niat tersebut, karena tenggat waktu pekerjaan masing-masing yang tidak bisa ditawar. Belum lagi mobilitas dari kota ke kota yang menyita waktu kami sehingga tidak bisa sering bertemu. Akhirnya calon suami menyerahkan soal cincin kawin itu seluruhnya kepada saya. Intinya dia ngikut aja. Aduh, saya sempat jengkel dengan keputusannya. Soalnya ini kan menyangkut kepentingan bersama. Tapi ya mau bagaimana lagi?

Saya pun akhirnya memesan cincin di Malang, dengan pertimbangan kalau pesanan sudah jadi tapi saya belum sempat mengambilnya, masih bisa minta tolong adik untuk mengambilkannya. Tidak seperti calon pengantin lain yang biasanya memesan cincin perkawinan bersama-sama, kini saya pun harus kebingungan sendiri menentukan model dan beratnya serta ukuran jari calon suami. Kalau mengingat itu, rasanya gemes. Urusan memesan dan mendesain cincin itu pun menghabiskan waktu hampir dua jam. Dan dipastikan pesanan akan jadi dalam waktu 10 hari. Itu berarti kurang tiga hari dari waktu pemberkatan. Hasilnya, cincin untuk calon suami saya kebesaran jika dipasang di jari manis kanan! Belum lagi modelnya yang tidak persis dengan bayangan saya.

Hari Minggu yang telah direncanakan itu tiba. Acara pemberkatan berjalan lancar, hingga sampai pada bagian pemberkatan cincin. Setelah dua cincin itu diberkati, Romo pun menyerahkan satu persatu kepada kami, untuk saling mengenakan pada jari manis kanan masing-masing. Sambil memasukkan cincin ke jari pasangan, kami pun mengucapkan, “Terimalah cincin ini sebagai lambang cinta dan kesetiaanku padamu.”

Lambang cinta dan kesetiaan? Ya, hanya lambang. Justru arti sesungguhnya dari itu semua adalah komitmen untuk tetap menjaga cinta dan kesetiaan kepada pasangan. Walaupun di sisi dalam cincin itu terukir nama kami berdua dan angka 081109 sebagai tanggal keramatnya, tapi fungsi itu semua tak lebih dari sebuah monumen.

Tentang kebiasaan cincin kawin yang dilingkarkan di jari manis kanan, saya juga kurang merasa cocok. Kini cincin itu pindah ke jari telunjuk sebelah kiri, sementara punya suami malah di jari tengah kanan gara-gara ukurannya yang terlalu besar itu.

Yah, apapun itu, tentang cincin kawin yang memang sudah niat dipesan apalagi sudah diberkati memang tetap haruslah dipakai. Kalaupun maunya tidak dipakai dan hanya disimpan saja di lemari, apakah tidak ada pilihan lain yang lebih tepat? Kalau saya sih punya pilihan, lebih baik dilego saja....

No comments: