Friday, December 28, 2012

Loyalitas Pada Sate

Senin sore, hujan turun rintik-rintik. Walaupun tidak lebat, tapi membuat orang enggan untuk keluar rumah. Sebetulnya maksud hati ingin memeluk guling dan mendekam berselimut hangat di atas kasur. Tapi apa mau dikata. Ada kabar kalau rumah kami akan kedatangan tamu dari Surabaya, yang hendak menengok pasca meninggalnya Ibu tercinta.
Maka dengan hati dan tekad mantap, saya pun mengeluarkan sepeda motor. Dan mengendarainya menembus hujan seraya mengenakan jas hujan. Tujuan saya ke Jalan Merdeka, tepatnya di depan Apotek Merdeka, untuk mencari sate ayam, sekaligus membeli tensocrepe (karena paginya pergelangan tangan kanan saya keseleo), serta vitamin pesanan Bapak.
Saat perjalanan saya hampir mendekati apotek, mata saya berusaha mencari-cari penjual sate yang biasa mangkal di tempat itu. Loh, kok belum jualan, batin saya. Padahal biasanya, sejak jam empat sore ia sudah menggelar dagangan disitu. Saya hanya melihat rombong penjual bakso yang ditarik sepeda motor dan penjual bakpao. Itupun rombongnya ditinggal begitu saja, tanpa ditunggui penjualnya. Mungkin si penjualnya berteduh, takut hujan.
Pandangan saya arahkan ke wilayah dekat-dekat situ. Dan ternyata, selang dua toko dari apotik itu, ada rombong sate. Penjualnya seorang laki-laki, kira-kira berumur 40 tahun, sedang berjongkok mencari-cari sesuatu di bawah rombong. Saya menghampirinya sambil bertanya dalam hati. Jangan-jangan ini bukan penjual sate yang biasa menjadi langganan saya. Karena saya hafal betul kalau bapak penjualnya itu sudah agak tua. Tapi, ah, sudah biarlah, daripada saya harus berjalan lagi ke lain tempat, lebih baik beli yang ini saja. Masalah rasa yang belum tentu enak, biarlah menjadi urusan nanti.
Saya pun memesan 80 tusuk. Sambil membakar sate, saya pun terlibat obrolan ringan dengan bapak penjual itu. “Niki rombong sing biasane mangkal wonten ngajeng ngriku tah, Pak? (Apakah ini rombong yang biasanya mangkal di depan situ?)” tanya saya seraya menunjuk depan apotek. Sambil mengibas-ngibaskan kipas, dan menjaga agar bara arang tidak padam, bapak itu pun lantas bercerita.
Nggih. Kula ngganteni sadeyan. Marasepuh kula sakit. Stroke, mboten saged mlampah. (Iya. Saya menggantikan mertua saya yang sedang sakit. Stroke, tidak bisa berjalan),” ujarnya. Ia pun meneruskan kisahnya, kalau sebetulnya ia ingin membuka usaha dan berjualan sendiri. Tapi oleh sang istri dilarang. Istrinya lebih memilih untuk membantu menjualkan dagangan milik orangtuanya. Posisinya yang hanya sebagai anak menantu itu, membuatnya mau tak mau menuruti kemauan sang istri.
Saat asyik bercerita, tiba-tiba ada perempuan dengan membawa sepeda kayuh menyeberang jalan. Ia pun tak ragu menerobos hujan, sambil mengenakan jas hujan berwarna kuning. “Itu istri saya,” ujar bapak itu sambil menunjuk ke seberang jalan. Setelah sampai di dekat rombong, ia pun memarkir sepedanya. Sambil tersenyum menyapa saya, ia segera membantu suaminya berbenah dagangan.
Kalimat-kalimat cerita tentang asal usul rombong sate itu pun kembali mengalir lancar. Sesekali sang istri ikut menimpali ceritanya. Diceritakan, kalau rombong sate yang dipakainya sekarang itu berasal dari kakek istrinya, yang bernama Mbah Jo. Dialah orang pertama yang menjadi cikal bakal perkembangan sate ayam di Jombang. Dari mula pertama, Mbah Jo memang sudah mangkal di jalan itu. Setelah Mbah Jo tidak bisa turun tangan sendiri, rombong itu diwariskan kepada anaknya. Dan demikian seterusnya. Kini rombong itu sudah berada di tangan generasi ketiga. 
Menurut cerita bapak penjual sate itu, rombong belum pernah mengalami perubahan dari bentuk aslinya. Mulai dari kerangka kayu hingga kacanya. Hanya bagian-bagian tertentu yang perlu diganti, seperti roda dan alas meja jualan. Yang lain masih orisinil, hanya mengulang pengecatan saja.
Istri bapak itu, yang merupakan keturunan langsung dari Mbah Jo, sudah membuat pilihan tersendiri. Ia tak hendak serakah memanfaatkan nama Mbah Jo, yang memang bisa dikomersialkan, setidaknya untuk di area Jombang dan sekitarnya. Bahkan untuk membuka cabang pun ia tidak kepikiran. Apalagi untuk menciptakan sebuah franchise sate Mbah Jo. Jauh dari angannya. Ia lebih melakukan pekerjaan sebagaimana adanya. Setiap sore menggelar dagangan, dengan bermodalkan rombong riwayat itu. (jombang, 171212, phie)
"I am orang Jawa and like sate," kata Joshua Sebastiaan Akas

No comments: