Friday, May 27, 2016

Serai Pengusir Nyamuk



Musim penghujan tiba. Yang jelas tergambar kalau musim ini sedang berlangsung adalah tanah di halaman selalu basah. Karena hampir setiap hari diguyur oleh air hujan. Dan pastinya di kebun belakang rumah tergenang air, karena kontur tanah yang lebih rendah daripada letak rumah tinggal yang memang ditinggikan.
            Hal kedua yang cukup membikin jengkel adalah kehadiran nyamuk-nyamuk nakal yang tak diundang. Apalagi konsep rumah kami adalah rumah kebun. Maksudnya rumah yang dikelilingi oleh kebun, dan itu adalah kebun sebenar-benarnya. Bukan hasil rancang bangun seorang ahli lansekap berbayar mahal hehehe…..
            Itulah mengapa, tiap kali menjelang senja, pintu dan jendela rumah segera saja ditutup. Tak lain untuk antisipasi agar nyamuk dari kebun tidak ekspansi ke kamar tidur kami. Obat pembasmi nyamuk pun dipasang disana sini. Kami semakin paranoid, ketika banyak berita beredar banyak korban dari gigitan nyamuk yang nyawanya tak terselamatkan. Walaupun sejatinya kami tahu kalau penyebab penyakit itu nyamuknya beraksi di pagi dan siang hari.
            Yang jelas, gigitan nyamuk, apapun jenisnya, memang sangat-sangat menjengkelkan. Bekas gigitan yang ditinggalkan, selain membuat bentol-bentol, rasa gatalnya tak kunjung hilang. Itulah yang membuat tangan ini ingin terus menggaruk dan menggaruk lagi. Hingga tak terasa kulit menjadi lecet, kadang sampai berdarah-darah.
             Berperang melawan nyamuk, membuat saya hampir putus asa. Tidak mungkin pula rumah ditutup rapat-rapat untuk menghindarinya. Yang ada malah kondisi rumah jadi pengap, karena tidak ada sirkulasi udara. Betapa sayangnya, oksigen gratis dan segar, yang dihasilkan oleh pohon-pohon di sekitar rumah, tersia-siakan begitu saja.
            Harapan pun hanya bergantung pada ‘obat nyamuk’. Berbagai varian sudah pernah dicoba. Mulai dari yang bakar, semprot, elektrik hingga yang losion. Dan saking penginnya proteksi lebih kepada anak-anak, tindakan kadang berlebihan. Tubuh diolesi losion, masih memasang pembasmi serangga elektrik pula. Dan di depan kamar tidur dipasangi obat nyamuk bakar.
            Daaaannnn….. budget untuk belanja begitu-begitu pun jadi bertambah. Jelas dong. Karena belinya harus bermacam-macam. Belum lagi protes dari si kecil, yang seringkali menolak diolesi losion. Alasannya lengket di badan. Padahal maksud emaknya ini kan sungguh sangat baik.
            Sebetulnya secara sadar, saya juga mengerti tentang efek yang akan ditimbulkan oleh berbagai macam obat nyamuk itu, yang notabene tak lepas dari bahan kimia berbahaya. Tapi apa mau dikata, pertolongan itulah yang masih mungkin terjangkau oleh tangan dan pikiran. Hingga suatu saat, seolah disentak, pikiran ini menjadi terbuka lebar. Angan jadi berbunga-bunga ketika melihat onggokan sampah serai, sisa-sisa dari pemakaian memasak.
            Seolah menemukan harta karun, sisa-sisa serai itu saya punguti kembali. Sambil mengerjakan ini dan itu, otak saya berjalan cepat, menghubungkan fakta dengan teori-teori yang pernah saya baca tentang serai.
Serai atau sereh mempunyai nama Latin Cymbopogon citratus. Merupakan tumbuhan anggota suku rumput-rumputan. Umumnya dimanfaatkan sebagai bumbu dapur, untuk mengharumkan makanan. Salah satu zat yang dikandung oleh tanaman serai ini adalah sitronela, yang tidak disukai oleh nyamuk.
Saya kemudian teringat dengan minyak serai, yang dulu selalu saya bawa, kala avonturir di hutan-hutan. Minyak serai ini adalah minyak atsiri yang diperoleh dengan jalan menyuling bagian atas dari tumbuhan tesebut. Karena kandungan sitronela itulah maka baik minyak serai, maupun tanamannya, bisa digunakan sebagai pengusir (repelen) nyamuk.
            Selesai memunguti serai sisa masak itu, saya pun menyiapkan beberapa wadah. Serai itu lantas saya potong-potong kecil. Bau harumnya masih menyengat, walaupun itu sudah sisa kemarin. Wadah-wadah itu kemudian saya letakkan di bawah tempat tidur. Di ruang tamu, ruang makan dan ruang keluarga juga saya beri, sehingga jadi semacam potpourri.
            Dalam beberapa hari saya merasakan ada perubahan yang signifikan. Biasanya kalau hari mulai gelap, nyamuk-nyamuk mulai mengeroyok bagian kaki saat kami sedang bersantai menonton TV. Saya juga mencoba untuk tidak menyalakan ‘obat nyamuk’ semalam. Hasilnya, aman dari serangan massal nyamuk. Potpourri itu saya ganti lagi dengan yang baru ketika sudah terlihat kering.
            Yang jelas, nyamuk-nyamuk nakal itu seolah tak lagi berani memasuki rumah. Karena disana-sini ada hembusan sintronela, yang bisa jadi membuatnya puyeng dan mabuk. Anak-anak juga lebih nyaman karena tidak lagi diuber-uber harus pakai losion yang lengket di kulit. Kehadiran bahan kimia berbahaya pun berangsur kurang. Entah di kebun sana, sekomplotan nyamuk sedang merencanakan serangan model apa lagi…(phi/280216)


Suami Yang Pelupa


Judul artikel di Harian Kompas itu cukup menggelitik pikiran saya. Dan bisa jadi itu pula yang menggoda pikiran saya untuk membuat tulisan ini. Betapa tidak. Dari judulnya saja, saya seakan mengiyakan dan mengamini akan hal itu. Ya, memang suami saya bisa jadi sebagai salah satu sosok yang dikategorikan sebagai mahluk pelupa itu. Tapi tentunya tulisan yang saya bagikan ini bukanlah untuk membuka aib suami sendiri. Namun lebih pada hanya sekadar berbagi pengalaman, bahwa orang pelupa itu konsekuensinya sangat berat.
            Ketika jaman masih pacaran, Mas Rudi sudah pernah mewanti-wanti saya. Intinya adalah bahwa dia itu sangat pelupa. Karenanya dia meminta agar saya sangat-sangat memaklumi keterbatasannya itu. Ya mungkin karena masih pacaran, dan frekuensi pertemuan kami yang sangat tidak intens karena kesibukan pekerjaan masing-masing, saya hanya menjawab dengan senyum dan anggukan saja.
            Hingga ketika kami sudah menikah, dan ‘berbulan madu’ ke Jogjakarta, penyakit pelupa itu baru sangat saya rasakan. Mengapa saya menulis bulan madu dalam tanda kutip? Alasannya, karena perjalanan kami berdua, masing-masing dibiayai oleh kantor. Alias mendapatkan tugas dari kantor masing-masing untuk liputan di Jogja, sembari menghabiskan waktu untuk sedikit bersenang-senang berdua, hehehe…
            Singkat cerita, kami berada di Jogja selama lima hari. Biasanya, setelah makan pagi di hotel, kami pun berangkat menjalankan tugas masing-masing. Malamnya kami baru kembali bertemu di hotel. Acara rutinnya dilanjutkan dengan makan malam dan jalan-jalan sebentar. Sengaja kami mengambil penginapan di sekitar Jalan Malioboro, agar akses pergerakan masing-masing bisa lincah. Sore itu kami janjian ketemu agak awal. Sehari menjelang kami pulang ke Surabaya, jadwal pekerjaan sudah tidak terlalu padat. Dan karena tidak punya tujuan pasti hendak kemana, kami pun malas pergi jauh-jauh. Akhirnya sebelum makan malam, kami masuk ke Toko Buku Gramedia di Malioboro Mall.
            Saat sedang serius mencari-cari buku, Mas Rudi pamit hendak ke toilet. Jawaban singkat pun terlontar dari saya, yang tidak memindahkan pandangan dari buku yang sedang saya kagumi. Kira-kira limabelas menit kemudian, dia sudah kembali menjejeri saya. Seolah ingin tahu apa yang sedang menarik perhatian saya. Belum lama, dia pun terlonjak kaget.
“Waduh, handphoneku ketinggalan di toilet,” katanya dengan nada sangat khawatir.
“Lho? Coba balik dan cari,” saya tak kalah kagetnya. Mas Rudi pun bergegas pergi. Tapi dalam hati saya tidak yakin kalau handphone itu bakal balik dengan selamat. Saya mencoba memanggil nomor itu, tapi jawabannya sudah tidak aktif. Saya pun hanya bisa menghembuskan nafas panjang.
            Prediksi saya betul. Mas Rudi kembali dengan wajah lesu. Melayang sudah itu handphone yang umurnya baru dua minggu. Kontan kami berdua kehilangan selera untuk melihat-lihat buku. Pundak saya direngkuhnya, dan diajaknya saya meninggalkan tempat itu. Sepanjang jalan, tak putus-putusnya dia menyesali kecerobohannya.
            Karena sudah kehilangan selera makan, malam itu kami pun hanya duduk berdiam diri di gerai McDonald, dengan kentang goreng dan jus jeruk di hadapan kami.
“Ya, inilah penyakitku. Sungguh merepotkan,” keluhnya berkali-kali. Saya pun hanya bisa menelan ludah. Tak bisa berkata-kata. Hanya bisa melihatnya terpuruk gara-gara handphone alat bantu kerjanya itu raib secepat kilat.
            Tidak hanya sampai disitu kejadian penyakit lupa membawa konsekuensi yang berat. Kejadian berulang ketika saya hendak melahirkan anak pertama kami. Sejak awal kami sudah sepakat kalau dana untuk lahiran dijadikan satu di rekening miliknya. Dia ingin saya bisa tenang menghadapi proses persalinan, tanpa diributi urusan keuangan dan lain sebagainya.
            Dan betul. Proses persalinan itu sedikit memerlukan perhatian yang agak serius. Karena ketuban pecah sebelum waktunya, sehingga airnya merembes terus. Saya pun harus masuk kamar bersalin dan berbaring, tidak boleh kemana-mana. Tangan dipasang infus. Hidung dipasangi bantuan oksigen. Dan diberi obat perangsang agar bayinya segera keluar sebelum air ketuban habis. Kalau dalam waktu 12 jam setelah obat perangsang masuk, dan bayi belum lahir, maka dengan terpaksa harus SC. Alamak, mendengar keputusan dokter itu, kepala saya langsung pening.
            Rasa mules di perut saya akibat reaksi obat perangsang semakin berlipat ketika mendengarkan pengakuan dari Mas Rudi kalau kartu ATM miliknya ketinggalan di mesin dan lupa mengambilnya kembali dua hari yang lalu. Dan itu baru diingatnya sekarang. Saya hanya bisa pasrah…..

            Penderitaan saya berkaitan dengan penyakit pelupa itu masih harus berlangsung hingga kini. Betapa tidak, setiap hari saya harus mendapatkan pertanyaan, dimana kunci kontak, dimana kacamata, dimana ini, dimana itu……haduuuuuhhhhhh (050216/phie)