Friday, May 27, 2016

Suami Yang Pelupa


Judul artikel di Harian Kompas itu cukup menggelitik pikiran saya. Dan bisa jadi itu pula yang menggoda pikiran saya untuk membuat tulisan ini. Betapa tidak. Dari judulnya saja, saya seakan mengiyakan dan mengamini akan hal itu. Ya, memang suami saya bisa jadi sebagai salah satu sosok yang dikategorikan sebagai mahluk pelupa itu. Tapi tentunya tulisan yang saya bagikan ini bukanlah untuk membuka aib suami sendiri. Namun lebih pada hanya sekadar berbagi pengalaman, bahwa orang pelupa itu konsekuensinya sangat berat.
            Ketika jaman masih pacaran, Mas Rudi sudah pernah mewanti-wanti saya. Intinya adalah bahwa dia itu sangat pelupa. Karenanya dia meminta agar saya sangat-sangat memaklumi keterbatasannya itu. Ya mungkin karena masih pacaran, dan frekuensi pertemuan kami yang sangat tidak intens karena kesibukan pekerjaan masing-masing, saya hanya menjawab dengan senyum dan anggukan saja.
            Hingga ketika kami sudah menikah, dan ‘berbulan madu’ ke Jogjakarta, penyakit pelupa itu baru sangat saya rasakan. Mengapa saya menulis bulan madu dalam tanda kutip? Alasannya, karena perjalanan kami berdua, masing-masing dibiayai oleh kantor. Alias mendapatkan tugas dari kantor masing-masing untuk liputan di Jogja, sembari menghabiskan waktu untuk sedikit bersenang-senang berdua, hehehe…
            Singkat cerita, kami berada di Jogja selama lima hari. Biasanya, setelah makan pagi di hotel, kami pun berangkat menjalankan tugas masing-masing. Malamnya kami baru kembali bertemu di hotel. Acara rutinnya dilanjutkan dengan makan malam dan jalan-jalan sebentar. Sengaja kami mengambil penginapan di sekitar Jalan Malioboro, agar akses pergerakan masing-masing bisa lincah. Sore itu kami janjian ketemu agak awal. Sehari menjelang kami pulang ke Surabaya, jadwal pekerjaan sudah tidak terlalu padat. Dan karena tidak punya tujuan pasti hendak kemana, kami pun malas pergi jauh-jauh. Akhirnya sebelum makan malam, kami masuk ke Toko Buku Gramedia di Malioboro Mall.
            Saat sedang serius mencari-cari buku, Mas Rudi pamit hendak ke toilet. Jawaban singkat pun terlontar dari saya, yang tidak memindahkan pandangan dari buku yang sedang saya kagumi. Kira-kira limabelas menit kemudian, dia sudah kembali menjejeri saya. Seolah ingin tahu apa yang sedang menarik perhatian saya. Belum lama, dia pun terlonjak kaget.
“Waduh, handphoneku ketinggalan di toilet,” katanya dengan nada sangat khawatir.
“Lho? Coba balik dan cari,” saya tak kalah kagetnya. Mas Rudi pun bergegas pergi. Tapi dalam hati saya tidak yakin kalau handphone itu bakal balik dengan selamat. Saya mencoba memanggil nomor itu, tapi jawabannya sudah tidak aktif. Saya pun hanya bisa menghembuskan nafas panjang.
            Prediksi saya betul. Mas Rudi kembali dengan wajah lesu. Melayang sudah itu handphone yang umurnya baru dua minggu. Kontan kami berdua kehilangan selera untuk melihat-lihat buku. Pundak saya direngkuhnya, dan diajaknya saya meninggalkan tempat itu. Sepanjang jalan, tak putus-putusnya dia menyesali kecerobohannya.
            Karena sudah kehilangan selera makan, malam itu kami pun hanya duduk berdiam diri di gerai McDonald, dengan kentang goreng dan jus jeruk di hadapan kami.
“Ya, inilah penyakitku. Sungguh merepotkan,” keluhnya berkali-kali. Saya pun hanya bisa menelan ludah. Tak bisa berkata-kata. Hanya bisa melihatnya terpuruk gara-gara handphone alat bantu kerjanya itu raib secepat kilat.
            Tidak hanya sampai disitu kejadian penyakit lupa membawa konsekuensi yang berat. Kejadian berulang ketika saya hendak melahirkan anak pertama kami. Sejak awal kami sudah sepakat kalau dana untuk lahiran dijadikan satu di rekening miliknya. Dia ingin saya bisa tenang menghadapi proses persalinan, tanpa diributi urusan keuangan dan lain sebagainya.
            Dan betul. Proses persalinan itu sedikit memerlukan perhatian yang agak serius. Karena ketuban pecah sebelum waktunya, sehingga airnya merembes terus. Saya pun harus masuk kamar bersalin dan berbaring, tidak boleh kemana-mana. Tangan dipasang infus. Hidung dipasangi bantuan oksigen. Dan diberi obat perangsang agar bayinya segera keluar sebelum air ketuban habis. Kalau dalam waktu 12 jam setelah obat perangsang masuk, dan bayi belum lahir, maka dengan terpaksa harus SC. Alamak, mendengar keputusan dokter itu, kepala saya langsung pening.
            Rasa mules di perut saya akibat reaksi obat perangsang semakin berlipat ketika mendengarkan pengakuan dari Mas Rudi kalau kartu ATM miliknya ketinggalan di mesin dan lupa mengambilnya kembali dua hari yang lalu. Dan itu baru diingatnya sekarang. Saya hanya bisa pasrah…..

            Penderitaan saya berkaitan dengan penyakit pelupa itu masih harus berlangsung hingga kini. Betapa tidak, setiap hari saya harus mendapatkan pertanyaan, dimana kunci kontak, dimana kacamata, dimana ini, dimana itu……haduuuuuhhhhhh (050216/phie)           

No comments: