Tuesday, July 20, 2010

Ternyata Itu Namanya Post Wedding Syndrome



Saya sempat senyum-senyum sendiri ketika membaca sebuah artikel yang saya dapatkan dari internet. Judulnya post wedding syndrome. Isinya, bla..bla..bla..bla…. Hohohohoho… namanya bagus juga ya, tapi efeknya itu bikin saya jadi nangis bombay.
Saya masih ingat betul. Tiga hari setelah acara pemberkatan dan resepsi perkawinan di Jombang, kami pun langsung kembali ke Surabaya. Selain harus menyelesaikan pekerjaan yang sudah tidak bisa ditunda lagi, kini dengan status sebagai istri, saya harus mengikuti suami tinggal di Surabaya. Maka jadilah sejak saat itu, saya memulai hidup berdua untuk membangun sebuah keluarga. Tinggal serumah, mengurus keperluan rumah, serta urusan rumah tangga lainnya yang tak pernah terpikirkan waktu saya masih lajang.  
Kalau dihitung jarak sih, tempat kami tinggal dengan tempat tinggal orangtua di Jombang memang tidak jauh. Walaupun berbeda kota, tapi masih bisa ditempuh hanya dalam waktu satu setengah jam. Sebulan sesudah kami menikah, hampir tiap minggu kami masih menyempatkan diri untuk pulang ke rumah orangtua saya. Mereka kini hanya tinggal berdua, karena adik-adik yang lain tinggal bertebaran di lain kota, bahkan di luar pulau Jawa.
            Namun seiring dengan perjalanan waktu dan semakin direpotkan oleh urusan kerja dan lainnya, maka ritual pulang ke rumah orangtua di setiap akhir pekan tidak bisa berlangsung mulus. Dari yang seminggu sekali, berubah menjadi dua minggu sekali, dan akhirnya belum tentu sebulan sekali.
            Saya juga masih ingat betul, ketika itu minggu ketiga setelah kami menikah. Seperti biasa, di akhir pekan itu kami pulang ke Jombang. Jumat malam biasanya kami sudah sampai di Jombang, dan baru Minggu sore atau Senin pagi kami kembali ke Surabaya. Kebetulan Minggu sore itu, kami harus pulang karena Senin pagi besok, suami saya ada janjian ketemu dengan narasumber yang hendak diwawancarainya.
            Sebetulnya, hati saya belum niat betul untuk pulang saat itu. Karena dipaksa oleh keadaan, maka mau tidak mau saya harus menjalaninya. Sungguh suatu hal yang tidak mungkin untuk membiarkan suami pulang sendiri ke Surabaya tanpa saya temani. Maka jadilah, ketika berjalan menuju ke kendaraan, dalam hati saya menangis. Apalagi saat melihat bapak dan ibu yang mengantarkan kami. Sementara kendaraan mulai bergerak meninggalkan halaman rumah, air mata ini tidak mau diredam. Tapi saya harus bisa menyembunyikannya, supaya bapak dan ibu tidak melihat kegundahan saya.
            Dalam hati, saya sedikit mengalami kebingungan. Kejadian seperti ini setidaknya sudah berkali-kali saya alami. Ketika belum menikah, saya sudah biasa hidup mandiri di Malang bersama adik, tanpa kehadiran orangtua setiap hari. Sementara itu, karena tuntutan kerja juga, saya mempunyai mobilitas tinggi. Harus berlompatan dari satu kota ke kota yang lain. Bahkan jadwal pulang ke rumah pun tidak bisa ditetapkan secara pasti.
            Tapi sekarang, yang saya rasakan sungguh sangat lain. Justru setelah menikah itu, keinginan untuk pulang ke rumah orangtua dan keinginan untuk dimanjakan bapak dan ibu itu selalu ada. Bagaimana tidak bahagia. Karena kalau pulang ke rumah orangtua, saya tidak usah memikirkan harus masak apa hari ini. Mau makan tinggal angkat piring. Paling-paling tugas saya hanya membantu ibu, tapi tidak mengambil alih semua urusan rumah tangga itu.
            Dan ada lagi satu hal yang hilang dari saya, yaitu kelegaan ketika jadwal deadline sudah kelar. Setelah berhari-hari berkutat di kantor, bahkan harus menginap berhari-hari pula, kelarnya deadline adalah waktu yang saya nantikan. Biasanya setelah itu, saya langsung mengemasi barang saya dan pulang ke Malang. Seolah sebuah beban sudah lepas dari pundak saya. Kepala terasa enteng dan saya bisa menghabiskan waktu di kota Malang yang dingin. 
            Tapi sekarang, saya tidak bisa lagi melakukannya. Selesai deadline pekerjaan, saya tetap di Surabaya, kembali lagi ke rumah seperti biasa, bertemu dengan suami, dan melakoni rutinitas sebagai ratu rumah tangga. Tidak ada lagi yang namanya hang out bersama sahabat semasa kuliah di Malang, atau menghabiskan waktu untuk tidur sepanjang hari, atau sight seeing di seantero kota sampai kaki pegal.
            Setelah saya baca artikel yang saya temukan di internet itulah, saya baru sadar. Hohoho, rupanya saya sedang terjangkit sebuah penyakit yang namanya post wedding syndrome. Ketika acara pesta dan kemeriahan usai, kebahagiaan yang manis itu tinggal kenangan. Kini saya harus masuk dalam kehidupan nyata, hidup bersama seorang bekas pacar, dengan segala konsekuensinya untuk membangun sebuah keluarga baru. Ah, saya baru tahu, ternyata tangisan bombay itu namanya post wedding syndrome.....    
           

No comments: