Monday, August 20, 2007

Festival Lembah Baliem



Festival Lembah Baliem (Baliem Valley Cultural Festival)

Acara yang unik, demikian kesan pertama yang tertangkap. Walaupun acara ini kurang mendapatkan publikasi ke dunia internasional sebagai salah satu agenda wisata Indonesia, Festival Lembah Baliem 2007 yang dilaksanakan di Desa Wasilimo, Distrik Kurulu, Kabupaten Jayawijaya, Papua, berlangsung meriah.
Lebih dari 30 perwakilan kesenian dari desa-desa dan berbagai kelompok kesenian mempertontonkan pertunjukan seni. Sebagian besar peserta menampilkan tarian perang, lengkap dengan lempar-lemparan tombak dan saling tembak anak panah, tapi tidak sampai menimbulkan luka. Di masa lalu, masyarakat yang tinggal di Lembah Baliem itu dikenal sebagai masyarakat yang suka berperang, utamanya antar suku. Jika ada masalah yang terjadi antarsuku dan tidak bisa diselesaikan, maka perang menjadi jalan terakhirnya. Tapi ketika sekarang perang suku seperti itu sudah tidak ada, maka gerakan-gerakan perang tersebut dilestarikan sebagai salah satu bentuk budaya asli milik masyarakat.
Festival Lembah Baliem 2007 digelar tanggal 9-14 Agustus, demikian rutin setiap tahun. Dan telah ditetapkan sebagai agenda tahunan oleh Dinas Pariwisata Provinsi Papua sejak tahun 1996. Namun penanganan dan pengelolaan masih kurang maksimal, terutama dari segi publikasi ke dunia internasional. Padahal jika digarap secara apik, tidak mustahil acara ini menjadi pesona dan daya tarik Indonesia, selain Bali tentunya. Mungkin karena kurangnya publikasi itu, di Wamena yang merupakan ibukota Kabupaten Jayawijaya, kemeriahan suasana kurang terasa. Baru setelah perjalanan 10 dari Bandara Wamena, kemeriahan itu terasa dengan adanya masyarakat yang berbondong-bondong di tepi jalan, yang juga akan menuju ke lokasi acara. Festival dibuka oleh Pelaksana Tugas Bupati Jayawijaya, Nicolas Jigibalon.
Para wisatawan mancanegara dan tamu undangan menyaksikan pertunjukan dari atas panggung kayu yang sengaja disiapkan. Sementara itu, masyarakat lainnya menyaksikan dari pinggir lapangan yang lebih lebar dari lapangan sepakbola. Pada pertunjukan-pertunjukan tarian perang di pertengahan acara, ketika kontingen desa Kurulu berlaga, suasana berlangsung seru. Lemparan-lemparan tombak semakin tipis melesetnya. Panah beterbangan tinggi melewati kepala penonton di tepi lapangan. Lari makin cepat, merunduk makin rendah. Wisatawan asing yang jumlahnya hampir seratus kelihatan makin bergairah.
Yang pasti dari pentas tersebut, penonton bisa mengetahui betapa masyarakat pegunungan tengah yang sekarang tercakup dalam wilayah Kabupaten Jayawijaya mempunyai hukum perang yang ketat. Peraturan yang paling terlihat dari berbagai tarian perang tersebut ialah larangan yang mengganggu apalagi melukai perempuan dan anak-anak. Dari situ terlihat betapa masyarakat mempunyai strategi perang yang luar biasa. Mereka mempunyai sistem pertahanan dan penyerangan yang unik. Pentas terasa semakin menarik dengan teriakan khas para penari yang membawa panah dan tombak panjang. “Wa! Wa! Wa!”, demikian teriakan mereka dengan penuh semangat. Festival ini juga dimeriahkan dengan acara pertandingan memanah bersama wisatawan asing.
Lembah Baliem merupakan daerah tempat tinggal Suku Dani. Masyarakat adat yang diperkenalkan ke dunia luar sebagai petani pejuang. Mereka hidup bertani, namun gemar berperang. Buku foto Gardens of War, film dokumenter Dead Birds, hasil ekspedisi antropologi yang pertama ke sana tahun 1961 jadi penyebabnya.
Sebutan'Dani' untuk kelompok masyarakat yang menghuni Lembah Baliem sebenarnya diberikan oleh orang Amerika dan Belanda untuk orang Moni yang bermukim di dataran tinggi Paniai (Moni: orang asing). Kata moni ini selanjutnya berubah menjadi ndani untuk mereka yang tinggal di Baliem. Penduduk lembah Baliem sendiri menyebut diri mereka 'nut akuni pallimeke' (kami dari Baliem).
Berada di kesejukan Lembah Baliem akan semakin pas bila ditemani sepoci kopi panas Wamena. Aroma dan cita rasanya yang khas membuat kopi Wamena tidak kalah dengan kopi Toraja, Mandailing maupun kopi Jawa yang sudah lebih dulu dikenal lidah bangsa Jepang, Eropa, dan Amerika Serikat. Kopi Wamena dibudidayakan petani hanya dengan mengandalkan kesuburan tanah vulkanik, tanpa pupuk apa pun. Kopi yang diperkirakan mulai dikenal masyarakat Jayawijaya pada tahun 1956 melalui misionaris Eropa ini merupakan komoditas yang memberikan harapan. Sampai ketemu di Festival Lembah Baliem tahun depan.