“Phie, kamu sudah bikin
kopi?” Itulah pertanyaan rutin dari suami yang selalu mampir di telinga saya
setiap pagi. Setidaknya untuk setahun belakangan ini. Entah mengapa dan apa
yang menyebabkannya, sekarang ini dia sangat-sangat gandrung pada minuman yang
bisa membuat orang jadi betah melek tersebut.
Memang awalnya hanya coba-coba. Tapi semenjak merasakan
kenikmatan dan sensasinya, kopi serasa membuatnya ketagihan. Bila pagi hari
belum diawali dengan minum kopi, hari yang dilalui kurang begitu semangat.
Begitu katanya tentang kedahsyatan kopi yang mengubah hidupnya.
Sebetulnya kopi yang diminum itu juga tidak terlalu
istimewa. Hanya kopi tubruk. Maksudnya bubuk kopi yang diseduh air mendidih,
dengan tambahan sedikit sekali gula. Jenis bubuk kopinya pun juga tak selalu
yang berkualitas terbaik. Atau menurut istilah banyolannya Cak Kartolo, ‘kopi
nggereng’, angger ireng, asal hitam.
Ngomong-ngomong tentang kopi, saya sendiri sebetulnya
bukanlah seorang penggemar dan pecandu kopi. Walaupun begitu, kopi sudah
menjadi kawan karib sejak saya masih kuliah. Kawan karib inilah penolong dan
pendukung nomor satu, dikala saya harus begadang menyelesaikan laporan
praktikum dan tugas kuliah lainnya.
Tak dimungkiri, khasiat kopi sangat membantu saya, terutama
ketika harus bertahan tidak memejamkan mata demi tanggung jawab yang harus
tuntas. Tapi bedanya, jika suami saya lebih suka dengan kopi tubruk dengan gula
minimalis, saya justru memilih kopi minimalis dengan tambahan krimer atau susu
yang lumayan banyak. Bisa jadi, kopi ala saya itu menjadi bahan senyuman bagi
pecinta kopi sesungguhnya. Ramuan kopi yang seperti itu saja sudah membuat saya
tidak tertidur hingga menjelang pagi. Apalagi yang prosentase kopinya lebih
banyak. Bisa-bisa saya tidak tidur hingga dua hari.
Namun senyatanya, ramuan kopi ala saya itu ada alasannya.
Perut saya langsung berasa perih jika minum kopi yang terlalu pekat. Belum lagi
jantung berdebar serasa mau lepas dari tempatnya. Bukan melebih-lebihkan, tapi
memang itulah kondisi yang terjadi. Sementara untuk bertahan bisa melek,
satu-satunya yang bisa menolong hanyalah kopi. Sehingga untuk menyiasatinya, ya
mesti dengan tambahan bahan-bahan lainnya agar kopinya tersamar.
Yang repot, ketika teman kantor atau kawan lain ada yang
mengajak nongkrong untuk ngopi. Apalagi minum kopi sembari ngobrol di kafe atau
tempat hang out, yang sekarang ini sudah menjadi gaya hidup. Ketika disodorkan
pada pilihan kopi jenis yang mana, saya menjadi bingung. Hampir semua menu
mengklaim kalau kopinya yang lebih berasa. Padahal saya tidak bisa.
Ujung-ujungnya saya minta kopi instan yang rasanya sudah saya kenal, dan tentu
rasa manisnya lebih dominan. Atau paling jelek kemungkinannya, pesan minuman
coklat panas. Lebih aman untuk perut dan sistem pencernaan saya, hehehe….
Kopi, engkau memang sosok misterius. Terutama untuk saya.
Betapa tidak. Saya sangat memerlukan kehadirannya. Tapi keberadaannya secara
utuh malah ditolak-tolak. Oh qahwah, kahveh, koffie, coffe, kopi, kupi ………….
(***)
Tak semangat mengawali hari tanpa kopi |