Senin
sore, hujan turun rintik-rintik. Walaupun tidak lebat, tapi membuat
orang enggan untuk keluar rumah. Sebetulnya maksud hati ingin memeluk guling
dan mendekam berselimut hangat di atas kasur. Tapi apa mau dikata. Ada kabar
kalau rumah kami akan kedatangan tamu dari Surabaya, yang hendak menengok pasca
meninggalnya Ibu tercinta.
Maka
dengan hati dan tekad mantap, saya pun mengeluarkan sepeda motor. Dan mengendarainya
menembus hujan seraya mengenakan jas hujan. Tujuan saya ke Jalan Merdeka,
tepatnya di depan Apotek Merdeka, untuk mencari sate ayam, sekaligus membeli
tensocrepe (karena paginya pergelangan tangan kanan saya keseleo), serta
vitamin pesanan Bapak.
Saat
perjalanan saya hampir mendekati apotek, mata saya berusaha mencari-cari
penjual sate yang biasa mangkal di tempat itu. Loh, kok belum jualan, batin
saya. Padahal biasanya, sejak jam empat sore ia sudah menggelar dagangan
disitu. Saya hanya melihat rombong penjual bakso yang ditarik sepeda motor dan
penjual bakpao. Itupun rombongnya ditinggal begitu saja, tanpa ditunggui
penjualnya. Mungkin si penjualnya berteduh, takut hujan.
Pandangan
saya arahkan ke wilayah dekat-dekat situ. Dan ternyata, selang dua toko dari
apotik itu, ada rombong sate. Penjualnya seorang laki-laki, kira-kira berumur
40 tahun, sedang berjongkok mencari-cari sesuatu di bawah rombong. Saya
menghampirinya sambil bertanya dalam hati. Jangan-jangan ini bukan penjual sate
yang biasa menjadi langganan saya. Karena saya hafal betul kalau bapak penjualnya
itu sudah agak tua. Tapi, ah, sudah biarlah, daripada saya harus berjalan lagi
ke lain tempat, lebih baik beli yang ini saja. Masalah rasa yang belum tentu
enak, biarlah menjadi urusan nanti.
Saya
pun memesan 80 tusuk. Sambil membakar sate, saya pun terlibat obrolan ringan
dengan bapak penjual itu. “Niki rombong
sing biasane mangkal wonten ngajeng ngriku tah, Pak? (Apakah ini rombong
yang biasanya mangkal di depan situ?)” tanya saya seraya menunjuk depan apotek.
Sambil mengibas-ngibaskan kipas, dan menjaga agar bara arang tidak padam, bapak
itu pun lantas bercerita.
“Nggih. Kula ngganteni sadeyan. Marasepuh
kula sakit. Stroke, mboten saged mlampah. (Iya. Saya menggantikan mertua
saya yang sedang sakit. Stroke, tidak bisa berjalan),” ujarnya. Ia pun
meneruskan kisahnya, kalau sebetulnya ia ingin membuka usaha dan berjualan
sendiri. Tapi oleh sang istri dilarang. Istrinya lebih memilih untuk membantu
menjualkan dagangan milik orangtuanya. Posisinya yang hanya sebagai anak
menantu itu, membuatnya mau tak mau menuruti kemauan sang istri.
Saat
asyik bercerita, tiba-tiba ada perempuan dengan membawa sepeda kayuh
menyeberang jalan. Ia pun tak ragu menerobos hujan, sambil mengenakan jas hujan
berwarna kuning. “Itu istri saya,” ujar bapak itu sambil menunjuk ke seberang
jalan. Setelah sampai di dekat rombong, ia pun memarkir sepedanya. Sambil
tersenyum menyapa saya, ia segera membantu suaminya berbenah dagangan.
Kalimat-kalimat
cerita tentang asal usul rombong sate itu pun kembali mengalir lancar. Sesekali
sang istri ikut menimpali ceritanya. Diceritakan, kalau rombong sate yang
dipakainya sekarang itu berasal dari kakek istrinya, yang bernama Mbah Jo.
Dialah orang pertama yang menjadi cikal bakal perkembangan sate ayam di
Jombang. Dari mula pertama, Mbah Jo memang sudah mangkal di jalan itu. Setelah
Mbah Jo tidak bisa turun tangan sendiri, rombong itu diwariskan kepada anaknya.
Dan demikian seterusnya. Kini rombong itu sudah berada di tangan generasi
ketiga.
Menurut
cerita bapak penjual sate itu, rombong belum pernah mengalami perubahan dari
bentuk aslinya. Mulai dari kerangka kayu hingga kacanya. Hanya bagian-bagian
tertentu yang perlu diganti, seperti roda dan alas meja jualan. Yang lain masih
orisinil, hanya mengulang pengecatan saja.
Istri
bapak itu, yang merupakan keturunan langsung dari Mbah Jo, sudah membuat
pilihan tersendiri. Ia tak hendak serakah memanfaatkan nama Mbah Jo, yang
memang bisa dikomersialkan, setidaknya untuk di area Jombang dan sekitarnya.
Bahkan untuk membuka cabang pun ia tidak kepikiran. Apalagi untuk menciptakan
sebuah franchise sate Mbah Jo. Jauh dari angannya. Ia lebih melakukan pekerjaan
sebagaimana adanya. Setiap sore menggelar dagangan, dengan bermodalkan rombong
riwayat itu. (jombang, 171212, phie)
"I am orang Jawa and like sate," kata Joshua Sebastiaan Akas |
No comments:
Post a Comment