Judul artikel di Harian Kompas itu cukup
menggelitik pikiran saya. Dan bisa jadi itu pula yang menggoda pikiran saya
untuk membuat tulisan ini. Betapa tidak. Dari judulnya saja, saya seakan
mengiyakan dan mengamini akan hal itu. Ya, memang suami saya bisa jadi sebagai
salah satu sosok yang dikategorikan sebagai mahluk pelupa itu. Tapi tentunya
tulisan yang saya bagikan ini bukanlah untuk membuka aib suami sendiri. Namun
lebih pada hanya sekadar berbagi pengalaman, bahwa orang pelupa itu konsekuensinya
sangat berat.
Ketika jaman masih pacaran, Mas Rudi
sudah pernah mewanti-wanti saya. Intinya adalah bahwa dia itu sangat pelupa.
Karenanya dia meminta agar saya sangat-sangat memaklumi keterbatasannya itu. Ya
mungkin karena masih pacaran, dan frekuensi pertemuan kami yang sangat tidak intens
karena kesibukan pekerjaan masing-masing, saya hanya menjawab dengan senyum dan
anggukan saja.
Hingga ketika kami sudah menikah,
dan ‘berbulan madu’ ke Jogjakarta, penyakit pelupa itu baru sangat saya rasakan.
Mengapa saya menulis bulan madu dalam tanda kutip? Alasannya, karena perjalanan
kami berdua, masing-masing dibiayai oleh kantor. Alias mendapatkan tugas dari
kantor masing-masing untuk liputan di Jogja, sembari menghabiskan waktu untuk
sedikit bersenang-senang berdua, hehehe…
Singkat cerita, kami berada di Jogja
selama lima hari. Biasanya, setelah makan pagi di hotel, kami pun berangkat menjalankan
tugas masing-masing. Malamnya kami baru kembali bertemu di hotel. Acara
rutinnya dilanjutkan dengan makan malam dan jalan-jalan sebentar. Sengaja kami
mengambil penginapan di sekitar Jalan Malioboro, agar akses pergerakan masing-masing
bisa lincah. Sore itu kami janjian ketemu agak awal. Sehari menjelang kami
pulang ke Surabaya, jadwal pekerjaan sudah tidak terlalu padat. Dan karena
tidak punya tujuan pasti hendak kemana, kami pun malas pergi jauh-jauh.
Akhirnya sebelum makan malam, kami masuk ke Toko Buku Gramedia di Malioboro
Mall.
Saat sedang serius mencari-cari
buku, Mas Rudi pamit hendak ke toilet. Jawaban singkat pun terlontar dari saya,
yang tidak memindahkan pandangan dari buku yang sedang saya kagumi. Kira-kira
limabelas menit kemudian, dia sudah kembali menjejeri saya. Seolah ingin tahu
apa yang sedang menarik perhatian saya. Belum lama, dia pun terlonjak kaget.
“Waduh,
handphoneku ketinggalan di toilet,” katanya dengan nada sangat khawatir.
“Lho?
Coba balik dan cari,” saya tak kalah kagetnya. Mas Rudi pun bergegas pergi. Tapi
dalam hati saya tidak yakin kalau handphone itu bakal balik dengan selamat. Saya
mencoba memanggil nomor itu, tapi jawabannya sudah tidak aktif. Saya pun hanya
bisa menghembuskan nafas panjang.
Prediksi saya betul. Mas Rudi
kembali dengan wajah lesu. Melayang sudah itu handphone yang umurnya baru dua
minggu. Kontan kami berdua kehilangan selera untuk melihat-lihat buku. Pundak
saya direngkuhnya, dan diajaknya saya meninggalkan tempat itu. Sepanjang jalan,
tak putus-putusnya dia menyesali kecerobohannya.
Karena sudah kehilangan selera
makan, malam itu kami pun hanya duduk berdiam diri di gerai McDonald, dengan
kentang goreng dan jus jeruk di hadapan kami.
“Ya,
inilah penyakitku. Sungguh merepotkan,” keluhnya berkali-kali. Saya pun hanya
bisa menelan ludah. Tak bisa berkata-kata. Hanya bisa melihatnya terpuruk
gara-gara handphone alat bantu kerjanya itu raib secepat kilat.
Tidak hanya sampai disitu kejadian
penyakit lupa membawa konsekuensi yang berat. Kejadian berulang ketika saya
hendak melahirkan anak pertama kami. Sejak awal kami sudah sepakat kalau dana
untuk lahiran dijadikan satu di rekening miliknya. Dia ingin saya bisa tenang
menghadapi proses persalinan, tanpa diributi urusan keuangan dan lain
sebagainya.
Dan betul. Proses persalinan itu
sedikit memerlukan perhatian yang agak serius. Karena ketuban pecah sebelum waktunya,
sehingga airnya merembes terus. Saya pun harus masuk kamar bersalin dan
berbaring, tidak boleh kemana-mana. Tangan dipasang infus. Hidung dipasangi
bantuan oksigen. Dan diberi obat perangsang agar bayinya segera keluar sebelum
air ketuban habis. Kalau dalam waktu 12 jam setelah obat perangsang masuk, dan
bayi belum lahir, maka dengan terpaksa harus SC. Alamak, mendengar keputusan
dokter itu, kepala saya langsung pening.
Rasa mules di perut saya akibat
reaksi obat perangsang semakin berlipat ketika mendengarkan pengakuan dari Mas
Rudi kalau kartu ATM miliknya ketinggalan di mesin dan lupa mengambilnya
kembali dua hari yang lalu. Dan itu baru diingatnya sekarang. Saya hanya bisa
pasrah…..
Penderitaan saya berkaitan dengan
penyakit pelupa itu masih harus berlangsung hingga kini. Betapa tidak, setiap
hari saya harus mendapatkan pertanyaan, dimana kunci kontak, dimana kacamata,
dimana ini, dimana itu……haduuuuuhhhhhh (050216/phie)
No comments:
Post a Comment