Selama
dua hari berturut turut saya sempat dibikin kelabakan oleh Si Sulung, Bram.
Pasalnya dia sangat ngebet dengan yang namanya kue jahe bikinan ibunya.
Masalahnya juga, saya belum pernah membikin makanan yang berjenis kukis beserta
kerabatnya itu. Alhasil, internet pun menjadi andalan untuk memenuhi keinginan
jagoan kecil saya tersebut.
Itu semua gara-gara buku. Dia punya
buku untuk mengenal warna-warna. Nah, diantara gambar-gambar yang
mendeskripsikan warna coklat, terselip sebuah gambar kue jahe. Kukis itu
berbentuk orang-orangan, dilengkapi dengan mata, mulut, hidung dan manset di
lengannya, yang dibuat dengan icing sugar. Dia tunjuk gambar tersebut dengan
jari mungilnya, sembari terus menginterogasi saya.
“Ibu,
ini gambar apa?”
“Itu
namanya kue jahe. Biasanya dibikin ketika Natal akan tiba.”
“Kue
ini pasti enak. Ibu bisa bikin?”
Saya
dibuat gelagapan. Alamak. Apa yang harus saya katakan?
“Nanti
ibu coba bikin ya. Tapi sekarang ibu belum punya resep dan cara membikinnya.
Bram tunggu ibu cari dulu ya,” ujar saya menghiburnya. Dia pun mengangguk
dalam. Karena janji itulah, selama dua hari, setiap kali ketemu saya, dia
selalu bertanya, “Ibu, kue jahenya sudah jadi?”
Maka mau tak mau, saya harus
berselancar dulu. Dengan kata kunci kue jahe, saya pun memanfaatkan kepandaian
Mbah Google. Begitu ketemu resepnya, saya pun segera mencari bahan-bahan yang
diperlukan. Untungnya bahan yang dipakai tidak macam-macam dan aneh-aneh.
Sehingga saya bisa mendapatkannya di toko dekat rumah. Hanya yang jadi masalah,
saya tidak punya cetakan kukis yang berbentuk orang-orangan. Demikian juga
untuk mendapatkan icing sugarnya saya sedikit kesulitan. Karena harus
mencarinya di toko bahan kue, yang jaraknya agak jauh dari rumah. Sementara,
Bram sudah nagih terus janji saya.
Akhirnya, cetakan saya bikin
seadanya yang saya punya. Icing sugar pun tak usah dulu. Yang penting kue jahe
segera terhidang. Sehingga menghindarkan saya dari kerisihan Bram yang selalu
menanyakan kue jahenya apakah sudah jadi.
Bak pembuat kue profesional, saya
mencampur bahan ini dan itu menjadi adonan. Trampil sekali sih tidak. Tapi
karena sejak kecil saya seringkali membantu Ibu dan Budhe membuat kue, jadi
secara prinsip saya mengerti tentang dunia dapur seperti itu. Setelah kurang
lebih sejam berkutat di dapur, semerbak wangi kue jahe mulai menguar ke udara.
Sampai-sampai Mbah Kung yang sedang saya titipi Bhima, adiknya Bram,
menyempatkan diri menengok ke dapur karena bau itu.
Dan, voila…….. akhirnya kue jahe
yang sudah jadi keluar dari oven. Kini saatnya tes rasa. Saya mengambil satu
keping yang sudah dingin. Gigitan pertama langsung kres…… enak, manis dan
krispi. Tidak mengecewakan untuk sebuah resep yang coba-coba.
Suami dan Mbah Kung pun menjadi
sasaran percobaan. Mereka saya sodori masing-masing sekeping. Dan komentar yang
keluar juga sama. Enak. Giliran Bram yang masuk dapur, dia pun saya sodori
sekeping. Digigitnya sedikit kemudian dikecap-kecap. Sisa gigitan itu pun
dikembalikan kepada saya. “Ini apa Bu. Rasanya tidak enak,” katanya sambil
ngeloyor pergi dari dapur tanpa perasaan bersalah.
Olala…..saya tidak tahu harus
ngomong apa. Rasanya gemes ingin menjitak kepalanya. Tapi juga ingin tertawa
melihat kepolosan dan kejujuran seorang kanak-kanak. (***)