Pagi
itu, seperti biasa, saya menunaikan kewajiban rutin seorang ratu rumah tangga.
Setelah pekerjaan rumah beres, barulah saya hendak berangkat ke kantor. Namun
sebelumnya, sudah pasti harus menitipkan Bram, anak semata wayang kami, kepada
Bu Iti, pengasuh yang kami percayai. Rumah pengasuh Bram itu jaraknya kira-kira
3 km dari tempat tinggal kami.
Di
ujung gang mendekati rumah Bu Iti, pandangan mata saya disentakkan oleh sebuah
kenyataan yang membuat hati bergetar. Tak terasa, mata ini pun langsung
berkaca-kaca. Ya, Tuhan, terimakasih untuk berkat dan rahmat yang masih Kau
beri. Hanya itu ucapan syukur yang bisa keluar.
Seorang
perempuan, kira-kira berumur 25 tahun. Tangan kanan dan kirinya memegang kemudi
sepeda kayuh merk Phoenix berwarna biru. Di belakang, ia membonceng sebuah
keranjang tertutup berbentuk persegi. Rupanya seperti keranjang bekas tempat
buah impor, berwarna putih. Di dalam keranjang itu ada bermacam-macam penganan
yang dijual. Diantaranya beberapa macam gorengan dan krupuk, serta minuman sari
kedelai. Sedangkan bagian depan sepeda juga dipasangi keranjang, yang hanya
terisi botol susu bayi dan onggokan plastik untuk pembungkus makanan. Susunya
tinggal separuh botol.
Di
dadanya bergelayut seorang balita perempuan. Umurnya tak lebih dari 1,5 tahun.
Terik matahari yang belum genap pukul 10 pagi itu, membuat keringatnya menetes-netes.
Si kecil pun membenamkan wajahnya ke dada sang ibu, untuk mengurangi kegerahan
yang dirasakan. Dengan didukung gendongan batik berwarna merah bergambar naga,
balita itu seolah terbenam dalam dunianya sendiri. Tanpa menghiraukan sang
ibunya yang ribut menawarkan dagangan dan melayani pembeli.
“Waduh,
maaf ya Mbak. Saya tadi berangkatnya kesiangan,” sapanya kepada seorang penjaga
konter handphone. Suaranya renyah, tidak menampakkan beban berat kehidupan yang
harus ditanggungnya. Dengan cekatan ia pun memasukkan dua bungkus susu kedelai
ke dalam tas plastik kecil, disertai beberapa potong gorengan.
Selesai
transaksi itu, ia pun menyeberang jalan. Dan menghampiri kios penjual degan
(kelapa muda). Ia pun terlibat perbincangan ceria dengan beberapa orang yang
ada di tempat itu. Beberapa barang dagangan di keranjang belakangnya berkurang
lagi.
Saya
pun cepat-cepat masuk ke gang, untuk sampai di rumah Bu Iti dengan segera.
Setelah menyerahkan Bram ke tangan Bu Iti, saya pun tergesa keluar gang. Maksud
hati hendak mengejar Si Mbak penjual tadi. Paling tidak saya ingin membantu
mengurangi dagangannya dengan membelinya beberapa. Tapi niat saya terlambat. Si
Mbak itu sudah mengayuh sepedanya berjalan menjauh, berlawanan arah dengan
jalan pulang saya.
Dengan
agak sedikit kesulitan mengayuh sepedanya, ia pun selalu menebar senyum kepada
orang yang ditawari membeli dagangannya. Si kecil yang berada di dalam
gendongannya juga seolah mengerti bahwa ibunya sedang bekerja. Ia tidak protes
dan rewel karena kepanasan. Padahal kepalanya tidak bertopi.
Muka
saya seolah tertampar. Betapa tidak. Saya lebih memilih menitipkan anak ketika
saya tinggal bekerja. Saya mempercayakan sebagian waktu hidup anak saya kepada
pengasuh. Makanya tak salah, ketika Bram memanggil sebutan pengasuhnya itu
dengan sebutan ibu.
Tapi
di sisi lain saya perlu sekali mengucap syukur. Saya diberikan pekerjaan yang
tidak usah dilakukan sambil berpanas-panasan seperti itu. Dan lagi, saya tidak
usah mengajak anak ketika harus bekerja. Cukuplah kesulitan dan masalah dalam pekerjaan
itu saya sendiri yang merasakan.
Sepanjang
jalan menuju ke kantor, saya tak henti-hentinya mengucap syukur. Bersyukur
untuk suami yang sangat baik dan pengertian, yang sudah diberikan Tuhan. Juga
untuk seorang anak yang lucu, yang kehadirannya sudah sangat kami nantikan.
Sehingga kami bisa mempunyai sebuah keluarga yang bahagia. Dalam hati saya
berjanji, kalau ketemu lagi dengan Si Mbak tadi, saya akan membeli dagangannya.
Tapi sialnya, hingga sekarang ini saya masih belum bertemu lagi dengannya.
(sby, 090912,phie)
Bram, riang walaupun menderita terjepit dalam keranjang |
Hore, akhirnya aku dibonceng Bapak juga |