Jarum jam di dinding rumah bagian
belakang menunjuk di angka sembilan. Saya yang sedang sibuk di mini farm
mengurusi bebek-bebek langsung terhenyak seketika. Walah, waktunya jemput
sekolah si sulung Bram. Saya pun cepat-cepat bersiap, mengeluarkan kendaraan
dari garasi, dan langsung meluncur. Biasanya perjalanan kurang dari 20 menit,
saya sudah sampai di gerbang sekolah.
Tapi prediksi saya meleset. Sampai
di perempatan RSUD, jalan ditutup. Padahal jarak sekolah dari situ hanya
sekitar 300 meter. Saya menjulurkan badan untuk melihat apa yang terjadi di
depan sana. Namun pandangan saya terganggu oleh gerombolan orang-orang. Dalam
hati saya mengeluh. “Ah….. demo lagi demo lagi. Anakku bagaimana ini?”
Kompleks sekolah si Bram memang
letaknya persis bersebelahan dengan Kantor Pemkab. Antara kelasnya dia dan
bangunan kantor, dipisahkan pagar tembok saja. Selain itu masih pula
bertetangga dengan kantor-kantor instansi pemerintahan yang lain di tembok sisi
satunya. Gara-gara letaknya yang seperti
itu, tak jarang saya mesti berputar-putar untuk menuju sekolah hanya karena
jalan harus ditutup untuk suatu acara.
Dalam bulan ini saja, demo
besar-besaran menuntut kenaikan upah (atau upah yang layak sesuai UMK) sudah
dua kali terjadi. Dalam hati saya menggumam, apakah mereka yang berdemo dan
berorasi keras disertai ngotot ini juga sudah pernah berpikir, kontribusi apa
yang sudah mereka berikan kepada perusahaan? Sebab sudah bukan rahasia lagi,
kalau etos pekerja di Indonesia ini termasuk rangking tak diperhitungkan. Ah,
tapi sudahlah. Itu urusan para pekerja. Yang jelas, di depan sekolah si Bram
jalannya terblokir. Pintu pagar sekolah ditutup, sebagai tindakan preventif
kalau saja terjadi kericuhan. Dan berkompi-kompi polisi bersiap-siap pengamanan
di sepanjang pagar kompleks sekolah. Sementara gelombang konvoi para pekerja
dengan mengendarai sepeda motor masih terus berdatangan.
Orangtua mana yang tidak miris dan kelabakan
mendapati kenyataan seperti itu. Saat anaknya sedang berada di sekolah, tanpa pengawasan
penuh dari kita, ada kejadian yang tidak bisa kita kendalikan. Ingin rasanya
segera menyelamatkan anak dan membawanya pulang segera. Tapi tak bisa bergerak
karena jalan ditutup. Sementara bertahan di sekolah juga belum tentu pilihan
yang mengenakkan.
Nasib…nasib…. Maksud hati ingin
anak mendapatkan pendidikan yang terbaik (menurut versi kita). Tapi di sisi
lain selalu ada konsekuensinya. Ya seperti yang saya alami ini. Semoga saja hal
seperti itu tidak terjadi sering-sering. Karena kalau saya berhitung, paling
tidak dalam delapan tahun ke depan, saya masih akan lagi mengalami
kejutan-kejutan seperti tadi siang. (jbg,22102015)
Bram di hari pertama masuk sekolah TK |