Mentari belum
sepenggalah. Jarum jam kira-kira masih menunjukkan pukul delapan pagi. Saat di
depan rumah terdengar suara kecrek-kecrek diselingi suara perempuan yang
berdendang. Tidak jelas lagu apa yang dinyanyikannya. Suaranya yang sumbang itu
juga kalah keras dengan bunyi kecrekan yang dibawanya. Rajin sekali bekerja
orang ini, pagi-pagi sudah keliling ngamen, batin saya.
Setelah
mendapatkan beberapa keping recehan di lemari, saya pun menuju ke teras. Maksud
hati hendak memberikannya kepada pengamen tersebut supaya dia bisa cepat
berlalu. Tapi perkiraan saya salah. Justru setelah menerima recehan dari tangan
saya, ia malah meneruskan obrolan panjang lebar.
Perempuan itu
kira-kira mendekati umur 60 tahun. Memakai celana komprang berwarna coklat,
berkerudung, beralas kaki sandal jepit merah serta berkaca mata. Di bahu
kanannya tersampir sebuah tas yang sudah
lusuh berwarna coklat muda. Kecrekan, alat musik dari tutup botol teh sosro
yang dirangkai, itu sepertinya selalu menjadi kawannya bekerja. Tampak dari
tampilan kecrekan yang sudah tidak utuh lagi. Disana sini cat tutup botolnya
sudah mengelupas. Mungkin karena sering terjadi gesekan diantaranya.
“Kula nembe mawon medal, Ning (saya baru
saja keluar, Ning),” ujarnya memulai percakapan. Ia pun lalu berkisah kalau
sudah beberapa bulan tidak menunaikan pekerjaan itu. Matanya yang mulai rabun
menyebabkannya tidak berani keluar. Takut kalau-kalau tertabrak kendaraan. “Nggih gara-gara mboten ketingal dalan niki,
kula ngantos dituntun tiyang (ya gara-gara tidak kelihatan jalan itu, saya
sampai dituntun orang),” lanjutnya.
Ia pun lantas
bertekad untuk bisa sembuh. Didengarnya di wilayah Tapen, Kecamatan Kudu,
Kabupaten Jombang, sana ada seseorang yang bisa menyembuhkan penyakit yang dideritanya
itu. “Ongkose numpak ngrika sekawan ewu.
Kalih nambange kalih ewu (ongkos naik angkutan kesana empat ribu. Sementara
ongkos untuk menyeberang sungai dua ribu),” terangnya. Di Tapen itu, ia pun
mendapatkan resep obat-obatan, serta diharuskan memakai kacamata.
“Sakjege ndamel kacamata niki, mata kula pun
terang. Saged ningali dalan (sejak memakai kacamata ini mata saya sudah
terang. Sudah bisa melihat jalan),” katanya disertai senyum. Tapi untuk membeli
kacamata itu, ia harus rela menjual cincin emas kepunyaannya. Meskipun begitu
ia rela, demi kelancarannya bekerja. Menurutnya, uang masih bisa dicari asalkan
mau bekerja.
Suaminya seorang
tukang becak. Tapi penghasilannya sekarang ini sudah jauh berkurang. Selain
karena usianya yang sudah mulai senja, kehadiran becak motor mengalahkan becak
kayuh. Karena pemasukan yang berkurang itu, ia pun bertekad untuk kembali
bekerja, mengamen. Awalnya sang suami melarang istrinya bekerja lagi, takut
kalau terjadi apa-apa. Terlebih ketika istrinya mengeluh penglihatannya
terganggu. Tapi setelah diyakinkan kalau dengan kacamata itu ia bisa, suaminya
pun tak bisa mencegahnya.
“Kalau nggak
ngamen ya mau bekerja apa lagi. Wong kita ini sudah berumur,” katanya. Tidak
mungkin berangkat lagi ke Kalimantan untuk menjadi buruh pemetik merica di
perkebunan. Juga tidak mungkin lagi bekerja yang lebih berat. Maka satu-satunya
pekerjaan yang masih bisa dilakukannya adalah mengamen itu.
Beruntung, ia
sudah punya rumah dan sedikit pekarangan. Itu pun warisan dari orangtuanya.
Sehingga hasil ngamen itu hanya digunakan untuk menutupi keperluan hidup
sehari-hari. Anak semata wayangnya, seorang lak-laki, sudah menikah dengan
perempuan dari Sampang, Madura. Malangnya, si anak itu tidak pernah pulang
menengok orangtuanya. Pernah sekali waktu ia menelepon, tapi jawaban yang
diterima justru sangat mengecewakannya. Intinya si anak tidak bisa pulang,
karena tidak ada uang. Sementara hasil panen belum bisa diharapkan.
Sebagai orangtua,
ia sangat berharap bisa dikunjungi anaknya. Syukur-syukur bila cucu dan
menantunya ikut serta. Tapi harapannya itu haruslah dipendam jauh-jauh. Sekarang
ini ia lebih menyibukkan dirinya dengan bekerja seadanya. Demi mencukupi
kebutuhan hidupnya sendiri.
Tak kurang dari 15
menit perempuan itu berdiri di depan teras, sambil mengeluarkan keluh kesahnya.
Setiap kali hendak mengakhiri pembicaraan, ia seolah merasa sayang. Saya pun
tak punya kuasa untuk mengusirnya, walaupun secara halus. Yang bisa saya
lakukan hanyalah mendengarnya sambil sesekali menimpali dan mengiyakan
ceritanya.
Mungkin setelah
dirasanya lega, ia pun berpamitan. Seraya tak lupa berkali-kali mengucapkan
terimakasih untuk recehan pemberian saya. Dan bisa jadi juga untuk waktu saya
dan telinga saya. (jombang, 221212)
Sejak dini anak harus dilatih untuk belajar mendengarkan |