Wednesday, September 24, 2014

Mari Kita Ngopi


“Phie, kamu sudah bikin kopi?” Itulah pertanyaan rutin dari suami yang selalu mampir di telinga saya setiap pagi. Setidaknya untuk setahun belakangan ini. Entah mengapa dan apa yang menyebabkannya, sekarang ini dia sangat-sangat gandrung pada minuman yang bisa membuat orang jadi betah melek tersebut.
            Memang awalnya hanya coba-coba. Tapi semenjak merasakan kenikmatan dan sensasinya, kopi serasa membuatnya ketagihan. Bila pagi hari belum diawali dengan minum kopi, hari yang dilalui kurang begitu semangat. Begitu katanya tentang kedahsyatan kopi yang mengubah hidupnya.
            Sebetulnya kopi yang diminum itu juga tidak terlalu istimewa. Hanya kopi tubruk. Maksudnya bubuk kopi yang diseduh air mendidih, dengan tambahan sedikit sekali gula. Jenis bubuk kopinya pun juga tak selalu yang berkualitas terbaik. Atau menurut istilah banyolannya Cak Kartolo, ‘kopi nggereng’, angger ireng, asal hitam.
            Ngomong-ngomong tentang kopi, saya sendiri sebetulnya bukanlah seorang penggemar dan pecandu kopi. Walaupun begitu, kopi sudah menjadi kawan karib sejak saya masih kuliah. Kawan karib inilah penolong dan pendukung nomor satu, dikala saya harus begadang menyelesaikan laporan praktikum dan tugas kuliah lainnya.
            Tak dimungkiri, khasiat kopi sangat membantu saya, terutama ketika harus bertahan tidak memejamkan mata demi tanggung jawab yang harus tuntas. Tapi bedanya, jika suami saya lebih suka dengan kopi tubruk dengan gula minimalis, saya justru memilih kopi minimalis dengan tambahan krimer atau susu yang lumayan banyak. Bisa jadi, kopi ala saya itu menjadi bahan senyuman bagi pecinta kopi sesungguhnya. Ramuan kopi yang seperti itu saja sudah membuat saya tidak tertidur hingga menjelang pagi. Apalagi yang prosentase kopinya lebih banyak. Bisa-bisa saya tidak tidur hingga dua hari.
            Namun senyatanya, ramuan kopi ala saya itu ada alasannya. Perut saya langsung berasa perih jika minum kopi yang terlalu pekat. Belum lagi jantung berdebar serasa mau lepas dari tempatnya. Bukan melebih-lebihkan, tapi memang itulah kondisi yang terjadi. Sementara untuk bertahan bisa melek, satu-satunya yang bisa menolong hanyalah kopi. Sehingga untuk menyiasatinya, ya mesti dengan tambahan bahan-bahan lainnya agar kopinya tersamar.   
            Yang repot, ketika teman kantor atau kawan lain ada yang mengajak nongkrong untuk ngopi. Apalagi minum kopi sembari ngobrol di kafe atau tempat hang out, yang sekarang ini sudah menjadi gaya hidup. Ketika disodorkan pada pilihan kopi jenis yang mana, saya menjadi bingung. Hampir semua menu mengklaim kalau kopinya yang lebih berasa. Padahal saya tidak bisa. Ujung-ujungnya saya minta kopi instan yang rasanya sudah saya kenal, dan tentu rasa manisnya lebih dominan. Atau paling jelek kemungkinannya, pesan minuman coklat panas. Lebih aman untuk perut dan sistem pencernaan saya, hehehe….
            Kopi, engkau memang sosok misterius. Terutama untuk saya. Betapa tidak. Saya sangat memerlukan kehadirannya. Tapi keberadaannya secara utuh malah ditolak-tolak. Oh qahwah, kahveh, koffie, coffe, kopi, kupi …………. (***) 
Tak semangat mengawali hari tanpa kopi

Apa Nama Kopimu?

Bhima ikutan hang out. Minumnya cukup es teh

 Dulu, sajian kopi selalu diidentikkan dengan minuman yang berwarna hitam. Tapi tidak untuk sekarang ini. Minuman kopi sudah dibuat beragam, untuk memenuhi selera dan kebutuhan. Terlebih kegiatan minum kopi sudah menjadi sebuah tren.
            Banyak orang yang tidak tahan dengan kopi, saya salah satunya, yang dipaksa harus
 bersentuhan dengan kopi. Apalagi kalau mengikuti gaya hidup yang sedang berjalan saat ini. Dan tak afdol rasanya kalau datang nongkrong ke kedai kopi, tapi menu yang dipesan jauh dari yang berbau-bau kopi.
            Tapi bersyukur solusi itu sudah ada. Kini kopi dibikin dengan banyak cara dan rasa, sehingga menyamarkan ‘kedahsyatannya’ yang bisa bikin perut bergejolak. Walaupun masih ditambah bahan lain ini dan itu, tapi paling tidak unsur kopi masih terbawa.
            Kopi hitam. Minuman jenis ini yang paling banyak dijumpai dan selumrahnya minuman yang disebut kopi. Dibuat dari hasil ekstraksi langsung, dengan cara merebus biji kopi. Penyajiannya pun natural begitu saja, tanpa ditambahi bahan maupun perasa lain. Tentunya kopi yang seperti ini rasanya sangat pahit.
            Espresso. Kopi espresso dibuat dengan menggunakan uap, tidak diseduh. Biji kopi diekstraksi dengan uap panas pada tekanan tinggi. Hasilnya adalah cairan kopi yang berwarna hitam. Kopi ini siap untuk divariasi dengan bahan lain.
            Latte (coffe latte). Jenis kopi ini merupakan turunan dari espresso. Yaitu dengan mencampurkan espresso bersama susu, dengan perbandingan 3 :1.
            Macchiato. Minuman ini hampir sama dengan latte. Hanya saja rasio antara kopi dan susu adalah 4:1.
            CafĂ© au lait. Kopi yang serupa dengan caffe latte. Hanya saja menggunakan kopi hitam.
            Cappucino. Yaitu kopi yang ditambahi dengan susu, krim dan serpihan coklat. Biasanya serpihan coklatnya akan mengapung di atas kopi. Kalau diminum akan membawa sensasi tersendiri dengan adanya serpihan yang tertinggal di lidah.
            Dry cappucino. Jenis cappucino yang disajikan tanpa susu, dengan tambahan hanya sedikit krim.
            Frappe. Adalah jenis kopi espresso yang disajikan dingin.
            Irish coffe (kopi irlandia). Merupakan minuman kopi yang dicampur dengan wiski.
            Melya. Adalah kopi yang ditambahi dengan bubuk coklat dan madu.
            Kopi moka. Serupa dengan  latte dan cappucino, hanya ditambahi dengan sirup coklat.
      Oleng. Adalah kopi khas Thailand yang dimasak dengan jagung, kacang kedelai dan wijen.
      Kopi tubruk. Diklaim sebagai kopi khas Indonesia. Caranya membuat hanya dengan menyeduh bubuk kopi bersama gula dengan air mendidih. Sehingga ketika air sudah tandas, di dasar gelas terdapat sisa endapan. Dalam Bahasa Jawa, endapan itu disebut lethek. Di Tulungagung, Jawa  Timur, ada kebiasaan unik. Lethek itu biasanya dioleskan pada sebatang rokok sebelum dinyalakan. Tradisi yang tumbuh di kalangan warkop (warung kopi) ini disebut dengan budaya nyethe.    
      Melihat nama-nama kopi itu, saya pun sedikit berpikir. Lantas kopi ala saya itu masuk ke dalam jenis yang mana. Karena antara kopi dan krimer perbandingannya 1:4. Ya sudahlah. Apapun namanya, yang jelas komposisi kopi yang seperti itulah yang nyaman di perut saya. (***) 
Bram : Dik, kopimu yang mana? 


 



Perjalanan Sebutir Kopi


            Berbicara tentang kopi, membawa memori saya untuk sejenak bernostalgia. Tentang kebun kopi yang dipunyai almarhum kakek saya, Yesaya Akas, yang terletak di Desa Segaran, Kecamatan Wates, Kabupaten Kediri. Walaupun tak luas, tapi kebun kopi itu cukup membawa kenangan. Setidaknya ketika musim tanaman kopi berbunga, yang akan menyeruakkan bau harum yang luar biasa. Rasanya hidung saya masih bisa membaui keharuman itu. Meskipun peristiwa itu sudah terjadi puluhan tahun yang lalu.
            Belum lagi ketika masa panen. Saya dan para sepupu, dengan riangnya membantu pekerja yang memetik kopi. Biji-biji yang matang, dan berwarna merah, menjadi rebutan. Dan namanya saja kanak-kanak. Alih-alih membantu pekerjaan, justru malah menjadi sebuah permainan. Itulah anak-anak. Segala sesuatu bisa menjadi permainan yang menyenangkan.
            Kembali lagi tentang kopi. Senyatanya, saya juga tidak tahu, jenis kopi apa yang ditanam oleh kakek. Entah robusta, arabika atau kopi jawa (kata orang-orang yang bekerja di kebun dulu). Yang jelas, saya hanya tahu, biji kopi itu kemudian dijemur. Ketika sudah kering kulitnya dikupas, sehingga tertinggal bijinya yang berwarna coklat. Biji itu disangrai serta ditumbuk lalu diayak. Dan jadilah bubuk kopi. Itu saja.   
            Kalau mau merunut sejarahnya, perjalanan kopi sendiri sangatlah panjang. Sebetulnya kopi ditemukan secara tak sengaja. Diperkirakan penemuan kopi terjadi di tahun 800 SM. Ada pula literatur yang menyebut 850 SM. Seorang penggembala bernama Khalid dari Abyssinia, mengamati kambing gembalaannya terjaga hingga matahari terbenam, setelah mereka makan buah sejenis buah berri. Ia pun kemudian mencoba memasak dan memakannya. Dari situlah kemudian kebiasaan itu berkembang dan menyebar ke berbagai negara di Afrika.
            Budidaya kopi sendiri baru berlangsung pertama kalinya di tahun 1000 SM, setelah saudagar dari Arab membawa biji kopi ke Timur Tengah. Tahun 1475 dibuka kedai kopi pertama di dunia, bernama Khiva Han, yang berlokasi di Konstantinopel.
            Perkembangan kopi di Indonesia bermula di tahun 1696, yang dibawa masuk ke Batavia oleh komandan pasukan Belanda Adrian Van Ommen dari Malabar, India. Jenis kopi arabika itu ditanam di kawasan yang sekarang ini Pondok Kopi Jakarta Timur. Namun sayangnya semua tanaman itu mati karena banjir. Tahun 1699 didatangkan lagi, yang kemudian di kembangkan di Priangan.
            Hasil kopi tersebut kemudian menjadi komoditas dagang yang sangat diandalkan oleh VOC. Sebutan Kopi Jawa pun menjadi primadona di arena perdagangan Eropa. Dan Hindia Belanda menjadi perkebunan kopi pertama di luar Arab dan Ethiopia. Sampai pertengahan abad 19, kopi jawa masih menjadi kopi terbaik di dunia. Kopi jawa menjadi barang komersial selama kurang lebih 175 tahun, yang perdagangannya dimonopoli oleh Belanda.
            Karena serangan penyakit karat, banyak tanaman kopi yang mati. Yang bertahan hanyalah yang hidup di dataran tinggi dengan ketinggian di atas 1000 dpl. Untuk menggantikannya Belanda mendatangkan jenis kopi liberika. Tapi jenis ini pun tak tahan penyakit, dan tidak diterima pasar karena rasanya yang terlalu asam.
            Tahun 1900 barulah didatangkan jenis robusta. Kopi ini lebih tahan penyakit, pemeliharaannya jauh lebih mudah dan produksinya jauh lebih tinggi. Jenis robusta pun berkembang lebih cepat hingga mengalahkan arabika. Terutama di daerah yang punya ketinggian dibawah 1000 dpl.
            Sementara itu, sekarang ini ada jenis kopi yang punya harga jual tertinggi di dunia. Yaitu kopi luwak. Yang merupakan subvarietas dari arabika dan robusta. Dan ini diklaim sebagai kopi asli Indonesia. Harga yang mahal itu diapresiasi dari rasanya yang unik.
            Sejatinya kopi luwak merupakan kopi jenis arabika yang telah dimakan oleh binatang luwak,sejenis musang. Biji kopi yang tidak tercerna itu pun dikeluarkan bersama dengan kotoran. Karena lama berada di dalam pencernaan luwak, biji kopi mengalami fermentasi. Inilah yang membikin rasa kopi menjadi unik.
            Terlepas dari rasanya, kopi mempunyai banyak manfaat. Diantaranya mencegah stroke dan penyakit jantung, mencegah kanker dan diabetes, mencegah resiko kanker mulut dan melindungi gigi, mengurangi rasa sakit, dan mengatasi perubahan suasana hati atau depresi.
            Tentunya kopi memberikan manfaat maksimal jika dikonsumsi sesuai dengan ukuran. Dalam sehari tak boleh lebih dari dua cangkir.  Mari kita minum kopi……(***)   
Kopi bersanding pisang goreng. Pasangan yang serasi