Monday, January 7, 2013

Ngamen Berbonus Curhat

                Mentari belum sepenggalah. Jarum jam kira-kira masih menunjukkan pukul delapan pagi. Saat di depan rumah terdengar suara kecrek-kecrek diselingi suara perempuan yang berdendang. Tidak jelas lagu apa yang dinyanyikannya. Suaranya yang sumbang itu juga kalah keras dengan bunyi kecrekan yang dibawanya. Rajin sekali bekerja orang ini, pagi-pagi sudah keliling ngamen, batin saya.

                Setelah mendapatkan beberapa keping recehan di lemari, saya pun menuju ke teras. Maksud hati hendak memberikannya kepada pengamen tersebut supaya dia bisa cepat berlalu. Tapi perkiraan saya salah. Justru setelah menerima recehan dari tangan saya, ia malah meneruskan obrolan panjang lebar.

                Perempuan itu kira-kira mendekati umur 60 tahun. Memakai celana komprang berwarna coklat, berkerudung, beralas kaki sandal jepit merah serta berkaca mata. Di bahu kanannya  tersampir sebuah tas yang sudah lusuh berwarna coklat muda. Kecrekan, alat musik dari tutup botol teh sosro yang dirangkai, itu sepertinya selalu menjadi kawannya bekerja. Tampak dari tampilan kecrekan yang sudah tidak utuh lagi. Disana sini cat tutup botolnya sudah mengelupas. Mungkin karena sering terjadi gesekan diantaranya.

                Kula nembe mawon medal, Ning (saya baru saja keluar, Ning),” ujarnya memulai percakapan. Ia pun lalu berkisah kalau sudah beberapa bulan tidak menunaikan pekerjaan itu. Matanya yang mulai rabun menyebabkannya tidak berani keluar. Takut kalau-kalau tertabrak kendaraan. “Nggih gara-gara mboten ketingal dalan niki, kula ngantos dituntun tiyang (ya gara-gara tidak kelihatan jalan itu, saya sampai dituntun orang),” lanjutnya.

                Ia pun lantas bertekad untuk bisa sembuh. Didengarnya di wilayah Tapen, Kecamatan Kudu, Kabupaten Jombang, sana ada seseorang yang bisa menyembuhkan penyakit yang dideritanya itu. “Ongkose numpak ngrika sekawan ewu. Kalih nambange kalih ewu (ongkos naik angkutan kesana empat ribu. Sementara ongkos untuk menyeberang sungai dua ribu),” terangnya. Di Tapen itu, ia pun mendapatkan resep obat-obatan, serta diharuskan memakai kacamata.

                Sakjege ndamel kacamata niki, mata kula pun terang. Saged ningali dalan (sejak memakai kacamata ini mata saya sudah terang. Sudah bisa melihat jalan),” katanya disertai senyum. Tapi untuk membeli kacamata itu, ia harus rela menjual cincin emas kepunyaannya. Meskipun begitu ia rela, demi kelancarannya bekerja. Menurutnya, uang masih bisa dicari asalkan mau bekerja.

                Suaminya seorang tukang becak. Tapi penghasilannya sekarang ini sudah jauh berkurang. Selain karena usianya yang sudah mulai senja, kehadiran becak motor mengalahkan becak kayuh. Karena pemasukan yang berkurang itu, ia pun bertekad untuk kembali bekerja, mengamen. Awalnya sang suami melarang istrinya bekerja lagi, takut kalau terjadi apa-apa. Terlebih ketika istrinya mengeluh penglihatannya terganggu. Tapi setelah diyakinkan kalau dengan kacamata itu ia bisa, suaminya pun tak bisa mencegahnya.

                “Kalau nggak ngamen ya mau bekerja apa lagi. Wong kita ini sudah berumur,” katanya. Tidak mungkin berangkat lagi ke Kalimantan untuk menjadi buruh pemetik merica di perkebunan. Juga tidak mungkin lagi bekerja yang lebih berat. Maka satu-satunya pekerjaan yang masih bisa dilakukannya adalah mengamen itu.

                Beruntung, ia sudah punya rumah dan sedikit pekarangan. Itu pun warisan dari orangtuanya. Sehingga hasil ngamen itu hanya digunakan untuk menutupi keperluan hidup sehari-hari. Anak semata wayangnya, seorang lak-laki, sudah menikah dengan perempuan dari Sampang, Madura. Malangnya, si anak itu tidak pernah pulang menengok orangtuanya. Pernah sekali waktu ia menelepon, tapi jawaban yang diterima justru sangat mengecewakannya. Intinya si anak tidak bisa pulang, karena tidak ada uang. Sementara hasil panen belum bisa diharapkan.

                Sebagai orangtua, ia sangat berharap bisa dikunjungi anaknya. Syukur-syukur bila cucu dan menantunya ikut serta. Tapi harapannya itu haruslah dipendam jauh-jauh. Sekarang ini ia lebih menyibukkan dirinya dengan bekerja seadanya. Demi mencukupi kebutuhan hidupnya sendiri.

                Tak kurang dari 15 menit perempuan itu berdiri di depan teras, sambil mengeluarkan keluh kesahnya. Setiap kali hendak mengakhiri pembicaraan, ia seolah merasa sayang. Saya pun tak punya kuasa untuk mengusirnya, walaupun secara halus. Yang bisa saya lakukan hanyalah mendengarnya sambil sesekali menimpali dan mengiyakan ceritanya.

                Mungkin setelah dirasanya lega, ia pun berpamitan. Seraya tak lupa berkali-kali mengucapkan terimakasih untuk recehan pemberian saya. Dan bisa jadi juga untuk waktu saya dan telinga saya. (jombang, 221212)  

Sejak dini anak harus dilatih untuk belajar mendengarkan