Friday, December 28, 2012

Balita Yang Pengertian

Pagi itu, seperti biasa, saya menunaikan kewajiban rutin seorang ratu rumah tangga. Setelah pekerjaan rumah beres, barulah saya hendak berangkat ke kantor. Namun sebelumnya, sudah pasti harus menitipkan Bram, anak semata wayang kami, kepada Bu Iti, pengasuh yang kami percayai. Rumah pengasuh Bram itu jaraknya kira-kira 3 km dari tempat tinggal kami. 
Di ujung gang mendekati rumah Bu Iti, pandangan mata saya disentakkan oleh sebuah kenyataan yang membuat hati bergetar. Tak terasa, mata ini pun langsung berkaca-kaca. Ya, Tuhan, terimakasih untuk berkat dan rahmat yang masih Kau beri. Hanya itu ucapan syukur yang bisa keluar.
Seorang perempuan, kira-kira berumur 25 tahun. Tangan kanan dan kirinya memegang kemudi sepeda kayuh merk Phoenix berwarna biru. Di belakang, ia membonceng sebuah keranjang tertutup berbentuk persegi. Rupanya seperti keranjang bekas tempat buah impor, berwarna putih. Di dalam keranjang itu ada bermacam-macam penganan yang dijual. Diantaranya beberapa macam gorengan dan krupuk, serta minuman sari kedelai. Sedangkan bagian depan sepeda juga dipasangi keranjang, yang hanya terisi botol susu bayi dan onggokan plastik untuk pembungkus makanan. Susunya tinggal separuh botol.
Di dadanya bergelayut seorang balita perempuan. Umurnya tak lebih dari 1,5 tahun. Terik matahari yang belum genap pukul 10 pagi itu, membuat keringatnya menetes-netes. Si kecil pun membenamkan wajahnya ke dada sang ibu, untuk mengurangi kegerahan yang dirasakan. Dengan didukung gendongan batik berwarna merah bergambar naga, balita itu seolah terbenam dalam dunianya sendiri. Tanpa menghiraukan sang ibunya yang ribut menawarkan dagangan dan melayani pembeli.
“Waduh, maaf ya Mbak. Saya tadi berangkatnya kesiangan,” sapanya kepada seorang penjaga konter handphone. Suaranya renyah, tidak menampakkan beban berat kehidupan yang harus ditanggungnya. Dengan cekatan ia pun memasukkan dua bungkus susu kedelai ke dalam tas plastik kecil, disertai beberapa potong gorengan.
Selesai transaksi itu, ia pun menyeberang jalan. Dan menghampiri kios penjual degan (kelapa muda). Ia pun terlibat perbincangan ceria dengan beberapa orang yang ada di tempat itu. Beberapa barang dagangan di keranjang belakangnya berkurang lagi.
Saya pun cepat-cepat masuk ke gang, untuk sampai di rumah Bu Iti dengan segera. Setelah menyerahkan Bram ke tangan Bu Iti, saya pun tergesa keluar gang. Maksud hati hendak mengejar Si Mbak penjual tadi. Paling tidak saya ingin membantu mengurangi dagangannya dengan membelinya beberapa. Tapi niat saya terlambat. Si Mbak itu sudah mengayuh sepedanya berjalan menjauh, berlawanan arah dengan jalan pulang saya.
Dengan agak sedikit kesulitan mengayuh sepedanya, ia pun selalu menebar senyum kepada orang yang ditawari membeli dagangannya. Si kecil yang berada di dalam gendongannya juga seolah mengerti bahwa ibunya sedang bekerja. Ia tidak protes dan rewel karena kepanasan. Padahal kepalanya tidak bertopi.
Muka saya seolah tertampar. Betapa tidak. Saya lebih memilih menitipkan anak ketika saya tinggal bekerja. Saya mempercayakan sebagian waktu hidup anak saya kepada pengasuh. Makanya tak salah, ketika Bram memanggil sebutan pengasuhnya itu dengan sebutan ibu.
Tapi di sisi lain saya perlu sekali mengucap syukur. Saya diberikan pekerjaan yang tidak usah dilakukan sambil berpanas-panasan seperti itu. Dan lagi, saya tidak usah mengajak anak ketika harus bekerja. Cukuplah kesulitan dan masalah dalam pekerjaan itu saya sendiri yang merasakan.
Sepanjang jalan menuju ke kantor, saya tak henti-hentinya mengucap syukur. Bersyukur untuk suami yang sangat baik dan pengertian, yang sudah diberikan Tuhan. Juga untuk seorang anak yang lucu, yang kehadirannya sudah sangat kami nantikan. Sehingga kami bisa mempunyai sebuah keluarga yang bahagia. Dalam hati saya berjanji, kalau ketemu lagi dengan Si Mbak tadi, saya akan membeli dagangannya. Tapi sialnya, hingga sekarang ini saya masih belum bertemu lagi dengannya. (sby, 090912,phie) 

Bram, riang walaupun menderita terjepit dalam keranjang

Hore, akhirnya aku dibonceng Bapak juga

Loyalitas Pada Sate

Senin sore, hujan turun rintik-rintik. Walaupun tidak lebat, tapi membuat orang enggan untuk keluar rumah. Sebetulnya maksud hati ingin memeluk guling dan mendekam berselimut hangat di atas kasur. Tapi apa mau dikata. Ada kabar kalau rumah kami akan kedatangan tamu dari Surabaya, yang hendak menengok pasca meninggalnya Ibu tercinta.
Maka dengan hati dan tekad mantap, saya pun mengeluarkan sepeda motor. Dan mengendarainya menembus hujan seraya mengenakan jas hujan. Tujuan saya ke Jalan Merdeka, tepatnya di depan Apotek Merdeka, untuk mencari sate ayam, sekaligus membeli tensocrepe (karena paginya pergelangan tangan kanan saya keseleo), serta vitamin pesanan Bapak.
Saat perjalanan saya hampir mendekati apotek, mata saya berusaha mencari-cari penjual sate yang biasa mangkal di tempat itu. Loh, kok belum jualan, batin saya. Padahal biasanya, sejak jam empat sore ia sudah menggelar dagangan disitu. Saya hanya melihat rombong penjual bakso yang ditarik sepeda motor dan penjual bakpao. Itupun rombongnya ditinggal begitu saja, tanpa ditunggui penjualnya. Mungkin si penjualnya berteduh, takut hujan.
Pandangan saya arahkan ke wilayah dekat-dekat situ. Dan ternyata, selang dua toko dari apotik itu, ada rombong sate. Penjualnya seorang laki-laki, kira-kira berumur 40 tahun, sedang berjongkok mencari-cari sesuatu di bawah rombong. Saya menghampirinya sambil bertanya dalam hati. Jangan-jangan ini bukan penjual sate yang biasa menjadi langganan saya. Karena saya hafal betul kalau bapak penjualnya itu sudah agak tua. Tapi, ah, sudah biarlah, daripada saya harus berjalan lagi ke lain tempat, lebih baik beli yang ini saja. Masalah rasa yang belum tentu enak, biarlah menjadi urusan nanti.
Saya pun memesan 80 tusuk. Sambil membakar sate, saya pun terlibat obrolan ringan dengan bapak penjual itu. “Niki rombong sing biasane mangkal wonten ngajeng ngriku tah, Pak? (Apakah ini rombong yang biasanya mangkal di depan situ?)” tanya saya seraya menunjuk depan apotek. Sambil mengibas-ngibaskan kipas, dan menjaga agar bara arang tidak padam, bapak itu pun lantas bercerita.
Nggih. Kula ngganteni sadeyan. Marasepuh kula sakit. Stroke, mboten saged mlampah. (Iya. Saya menggantikan mertua saya yang sedang sakit. Stroke, tidak bisa berjalan),” ujarnya. Ia pun meneruskan kisahnya, kalau sebetulnya ia ingin membuka usaha dan berjualan sendiri. Tapi oleh sang istri dilarang. Istrinya lebih memilih untuk membantu menjualkan dagangan milik orangtuanya. Posisinya yang hanya sebagai anak menantu itu, membuatnya mau tak mau menuruti kemauan sang istri.
Saat asyik bercerita, tiba-tiba ada perempuan dengan membawa sepeda kayuh menyeberang jalan. Ia pun tak ragu menerobos hujan, sambil mengenakan jas hujan berwarna kuning. “Itu istri saya,” ujar bapak itu sambil menunjuk ke seberang jalan. Setelah sampai di dekat rombong, ia pun memarkir sepedanya. Sambil tersenyum menyapa saya, ia segera membantu suaminya berbenah dagangan.
Kalimat-kalimat cerita tentang asal usul rombong sate itu pun kembali mengalir lancar. Sesekali sang istri ikut menimpali ceritanya. Diceritakan, kalau rombong sate yang dipakainya sekarang itu berasal dari kakek istrinya, yang bernama Mbah Jo. Dialah orang pertama yang menjadi cikal bakal perkembangan sate ayam di Jombang. Dari mula pertama, Mbah Jo memang sudah mangkal di jalan itu. Setelah Mbah Jo tidak bisa turun tangan sendiri, rombong itu diwariskan kepada anaknya. Dan demikian seterusnya. Kini rombong itu sudah berada di tangan generasi ketiga. 
Menurut cerita bapak penjual sate itu, rombong belum pernah mengalami perubahan dari bentuk aslinya. Mulai dari kerangka kayu hingga kacanya. Hanya bagian-bagian tertentu yang perlu diganti, seperti roda dan alas meja jualan. Yang lain masih orisinil, hanya mengulang pengecatan saja.
Istri bapak itu, yang merupakan keturunan langsung dari Mbah Jo, sudah membuat pilihan tersendiri. Ia tak hendak serakah memanfaatkan nama Mbah Jo, yang memang bisa dikomersialkan, setidaknya untuk di area Jombang dan sekitarnya. Bahkan untuk membuka cabang pun ia tidak kepikiran. Apalagi untuk menciptakan sebuah franchise sate Mbah Jo. Jauh dari angannya. Ia lebih melakukan pekerjaan sebagaimana adanya. Setiap sore menggelar dagangan, dengan bermodalkan rombong riwayat itu. (jombang, 171212, phie)
"I am orang Jawa and like sate," kata Joshua Sebastiaan Akas