Monday, March 12, 2012

Tentang Nama Kembar


Bram dalam gendongan Romo Kris Kia Anen, SVD

“Santo Franciscus, doakanlah kami. Amien.” Itulah doa yang selalu kami panjatkan bertiga. Praktis, karena tidak usah menyebut nama santo atau santa pelindung kami satu persatu. Maka jadilah Santo Franciscus de Sales menjadi santo pelindung kami sekeluarga.
Tapi sejatinya bukan karena soal kepraktisan yang kami inginkan. Senyatanya, suami saya memang sudah lebih dulu menyandang nama santo tersebut sebagai nama babtisnya. Demikian juga saya, karena Santo Franciscus de Sales ini merupakan santo pelindung kaum wartawan.
            Bagi umat Katolik, menyematkan nama santa atau santo di namanya memang sudah sangat wajar dan sepertinya wajib hukumnya. Walaupun sebetulnya tidak pun juga tidak apa-apa. Tapi setidaknya dengan menyandang nama orang kudus itu, kita diharapkan bisa meneladani iman mereka, dalam perjalanan hidup kita yang sekarang ini.
            Perihal memakai nama yang sama ini sempat menjadi bahan senyuman banyak orang. Ketika mengantarkan anak saya imunisasi di sebuah rumah sakit, kami pun ditanya untuk melengkapi data-datanya. Lucunya, petugas rumah sakit itu hanya menuliskan nama ayahnya Franciscus, nama ibunya Francisca dan nama anaknya Franciscus.
            Masih karena nama yang sama, ini merupakan cerita dari adik ipar saya, yang berasal dari Belanda. Di Negeri Kincir Angin itu, sudah umum terjadi, nama seorang anak laki-laki, apalagi kalau anak laki-laki satu-satunya, disamakan persis dengan nama bapaknya. Tanpa ada tambahan Junior atau Jr atau apapun di belakangnya.
            Nah, saudara ipar saya ini semuanya empat bersaudara. Tiga orang perempuan, dan yang terakhir laki-laki. Ayahnya sepakat untuk memberikan nama yang sama persis dengan namanya kepada anak laki-laki satu-satunya itu. Maka semua dokumen pun akhirnya bernama sama, hanya beda tahun pengesahannya. Tapi yang bikin repot adalah ketika mereka harus memilah surat atau dokumen resmi milik mereka berdua yang kebetulan tercampur. Alhasil pernah suatu ketika, dokumen milik bapaknya, malah dibawa oleh anaknya. Wah...(***)
Usai dipermandikan pada tanggal 20 Agustus 2011 oleh Romo Dominikus Kefi, SVD
             
             

St. Franciscus de Sales (24 Januari)

Franciscus dilahirkan di kastil keluarga de Sales di Savoy, Perancis, pada tanggal 21 Agustus 1567. Keluarganya yang kaya membekalinya dengan pendidikan yang tinggi. Pada usia 24 tahun, Franciscus telah meraih gelar Doktor Hukum. Ia kembali ke Savoy dan hidup dengan bekerja keras. Tetapi, kelihatannya Franciscus tidak tertarik pada kedudukan yang tinggi dalam masyarakat. Di hatinya, Franciscus mendengar adanya suatu panggilan yang terus-menerus datang bagaikan sebuah gema. Tampaknya seperti suatu undangan dari Tuhan baginya untuk menjadi seorang imam. Pada akhirnya, Franciscus berusaha menceritakan perjuangan batinnya itu kepada keluarga. Ayahnya amatlah kecewa. Ia ingin agar Franciscus menjadi seorang yang tersohor di seluruh dunia. Dengan pengaruh kuat keluarga pastilah impian itu akan tercapai. Tetapi, Franciscus bersikeras dan ditahbiskan imam pada tanggal 18 Desember 1593.
Pater Franciscus de Sales hidup pada saat umat Kristiani dilanda perpecahan. Ia menawarkan diri untuk pergi ke daerah yang berbahaya di Perancis untuk membawa kembali orang-orang Katolik yang telah menjadi Protestan. Ayahnya menentang dengan keras. Ayahnya mengatakan bahwa sudah merupakan suatu hal yang buruk baginya mengijinkan Franciscus menjadi seorang imam. Ia tidak akan mengijinkan Franciscus pergi dan wafat sebagai martir pula. Tetapi, Franciscus percaya bahwa Tuhan akan melindunginya. Maka ia dan sepupunya, Pater Louis de Sales, dengan berjalan kaki menempuh perjalanan ke daerah Chablais. Segera saja kedua imam tersebut merasakan bagaimana menderitanya hidup penuh hinaan serta aniaya fisik. Hidup mereka berdua senantiasa ada dalam bahaya. Namun demikian, sedikit demi sedikit, umat kembali ke pelukan Gereja.
St. Franciscus kemudian diangkat menjadi Uskup Geneva, Swiss. Bersama St. Yohana Fransiska de Chantal, pada tahun 1610 ia membentuk suatu ordo religius bagi para biarawati yang diberi nama Serikat Visitasi. Franciscus menulis buku-buku yang mengagumkan mengenai kehidupan rohani dan cara untuk menjadi kudus. Buku-bukunya, Tulisan tentang Kasih Allah dan Pengantar kepada Kehidupan Saleh, masih dicetak hingga sekarang. Buku-buku tersebut digolongkan sebagai buku-buku rohani ’klasik’.    
Uskup de Sales wafat pada tanggal 28 Desember 1622 dalam usia 56tahun. Ia dinyatakan kudus oleh Paus Inosensius X pada tahun 1665. Oleh karena pengabdiannya yang gagah berani bagi Gereja, ia diberi gelar istimewa ’Pujangga Gereja’. St. Franciscus dijadikan pelindung para wartawan.

“Sama seperti kasih ilahi mempercantik jiwa, hal itu disebut rahmat, yang menjadikan kita menyenangkan bagi Allah yang Mahamulia. Demikanlah rahmat tersebut memperkuat kita untuk melakukan kebajikan, hal itu disebut belas kasih.” ~ St. Franciscus dari Sales