Wednesday, January 6, 2010

Sambal Tuk-tuk


Senja, menjelang pulang kantor. Suasana masih diliputi mendung setelah diguyur hujan sebentar. Sialnya lagi listrik padam. Alhasil teman-teman kantor pun segera berkemas dan pulang ke rumahnya masing-masing. Tinggallah saya sendirian di kantor menunggu suami menjemput.

Dalam hati saya menggumam. Kalau listrik padam begini ya mana bisa membuat nasi di rumah. Akhirnya kami pun memutuskan untuk makan saja di luar. Selama dalam perjalanan mencari tempat makan, semua serba gelap karena pemadaman itu. Satu-satunya pilihan tempat yang lebih masuk akal dan terang adalah masuk food court di Royal Plaza. Ya, sudahlah. 

Selama lebih dari 15 menit kami terduduk tanpa tahu menu apa yang harus dipesan. Padahal disitu ada bermacam-macam pilihan. Tapi menurut kami tidak ada yang bisa menarik selera. Setelah jengah dengan kekonyolan itu, suami saya pun mencoba jalan berkeliling untuk melihat menunya lebih detil. Sedangkan saya lebih memilih bengong sambil minum teh, menunggu suami yang datang dengan keputusannya.

Tak lebih dari 10 menit kemudian dia kembali tapi tak membawa apa-apa. Ia hanya menunjuk-nunjuk konter Kedai Medan. ”Ingin makan apa?” tanya saya. Payahnya dia tak bisa memberikan rinciannya. ”Pokoknya yang disitu lho. Terserah sudah apa yang mau dipesan.” Hah?

Saya pun menuju ke tempat itu, dan meneliti menu apa saja yang ada disitu. Mata saya pun tak sengaja menancap pada tulisan sambal tuk-tuk. Apa lagi ini? pikir saya. Sedikit repot juga. Suami saya enggan mencoba makanan yang belum pernah ditemuinya. Sementara saya, selalu ingin mencobanya. Dengan yakin saya pun memesan ikan lele dengan sambal tuk-tuk itu.

Saat kembali, saya ditanya oleh suami. ”Jadinya pesan apa?” Dengan singkat saya menjawab, ”Lele sambal tuk-tuk.” Ia pun tersenyum mendengar nama yang terkesan lucu itu. Nama tuk-tuk sendiri mengingatkan kami pada sebutan angkutan umum di Thailand, yang mirip seperti bajaj atau bemo.

Setelah pesanan diantar, kami pun tak sabar untuk mencicipinya.Penampilannya sih tak ubahnya seperti sambal-sambal lainnya. Di atas dua ekor lele goreng, sambal tersebut diletakkan. Bawang merah dan tomatnya digerus rucah-rucah, dan sepertinya disiram dengan sedikit kuah. Saya mencoba menyendok kuahnya sedikit. Di luar dugaan, ternyata citarasanya sungguh luar biasa. Perpaduan antara rasa asin, pedas dan asamnya itu lho yang bikin lidah bergoyang. Sekilas rasanya mirip dengan sambal dabu-dabu. Saat dimakan seketika, rasa pedasnya memang tidak seberapa. Tapi setelah beberapa saat, rasa pedas yang timbul seperti menggigit dan tinggal di lidah.

Sambal tuk-tuk merupakan makanan khas masyarakat Tapanuli bagian selatan, atau seringkali disebut sebagai sambal khas Batak. Bahan-bahan yang digunakan juga sederhana, seperti sambal-sambal lainnya, yaitu cabai merah, cabai rawit, bawang merah, tomat, garam dan air perasan jeruk nipis. Uniknya, sambal itu dicampur dengan aso-aso (sejenis ikan kembung yang sudah dikeringkan) yang digerus halus, dan masih ditambahi lagi rempah khas yang hanya ada dan tumbuh di wilayah Sumatera Utara, yaitu andaliman.

Andaliman ini merupakan bumbu pelengkap masakan khas orang Batak. Makanan ala Batak rasanya sama sekali tidak klop jika tanpa kehadirannya. Ada cita rasa spesifik yang ditimbulkan oleh andaliman ini, sehingga memancing selera makan seseorang. Rasa pedas dan aroma andaliman berbeda dengan pedasnya cabai. Sungguh pas untuk lidah orang Batak yang suka masakan pedas menggigit.

Tak beda dengan suami saya. Ia pun merasakan sensasi yang luar biasa itu. Saking terkesannya dengan yang namanya sambal tuk-tuk, ia pun meminta saya untuk membuatkannya. Justru kini saya yang dibikin bingung. Di bagian Surabaya sebelah mana harus mencari andaliman itu?

Rempah Itu Bernama Andaliman


Andaliman (zanthoxylum acanthopodium DC) merupakan salah satu jenis rempah yang hanya terdapat di Kabupaten Toba Samosir dan Tapanuli Utara, Sumatera Utara. Tanaman ini tumbuh pada daerah berketinggian 1500 m dpl. Masuk dalam famili Rutaceae atau keluarga jeruk-jerukan. Bila digigit tercium aroma minyak atsiri yang wangi dengan rasa yang khas getir, sehingga merangsang produksi air liur.

Andaliman lebih dikenal di Asia, seperti di China, Jepang, Korea dan India. Mereka menyebutnya sebagai szechuan pepper. Ditengarai kalau andaliman ini aslinya dari negeri Cina. Biasanya dicampurkan untuk makanan mapo berkuah. Masyarakat Sin Jiang muslim menggerus andaliman dengan lada, ketumbar dan garam. Semuanya disangrai lalu dijadikan cocolan daging panggang.

Sementara itu di Jepang dan Korea, andaliman dijadikan hiasan atau untuk menambah rasa pedas pada sup dan mi. Masyarakat Gujarat, Goa, Maharasthtra di India selalu menyelipkan andaliman sebagai bumbu ikan.

Di daerah Tapanuli, andaliman ditemukan tumbuh liar di tanah kering di dataran tinggi dan rendah. Pohonnya berbatang kuat dan tidak merambat. Batangnya berdahan banyak, daunnya kecil-kecil, mirip bunga mawar. Di sekujur batang dan rantingnya dipenuhi dengan duri-duri tajam seperti duri mawar. Namun duri andaliman lebih besar dan kokoh. Tinggi pohon rata-rata 2-4 meter, jarang yang melebihi 5 meter. Usia produktifnya kurang dari 7 tahun.

Buah andaliman muncul dan diapit duri-duri. Butiran buahnya kecil-kecil, lebih kecil daripada merica. Buahnya bertangkai, seperti leunca yang biasa ada di Jawa Barat. Kalau masih muda buahnya berwarna hijau dan kalau matang berubah merah. Sementara kalau kering menjadi hitam.

Selain sebagai pelengkap bumbu wajib masakan khas Batak, andaliman juga mengandung senyawa yang berfungsi sebagai antioksidan dan antimikroba. Buah ini juga kaya akan vitamin C dan E yang berguna untuk meningkatkan daya tahan tubuh.