Thursday, December 17, 2009

Menikah vs Mencintai


Kasih itu sabar, kasih itu murah hati; ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong. Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri. Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain. Ia tidak bersukacita karena ketidakadilan, tetapi karena kebenaran. Ia menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu. Kasih tidak berkesudahan.

Rangkaian kalimat tersebut sepakat kami buat untuk dituliskan di kertas undangan ketika kami menikah nanti. Dan Puji Tuhan, rencana yang sudah kami susun jauh-jauh hari itu bisa terwujud seperti keinginan. Bisa jadi ungkapan tentang kasih yang diambil dari Surat Paulus yang Pertama kepada Jemaat di Korintus, dan juga menjadi favorit banyak orang itu, setidaknya juga menjadi spirit bagi kami berdua untuk memulai kehidupan baru bersama-sama dalam sebuah ikatan pernikahan suci.

Berbicara tentang kasih, memang luas sekali jangkauannya. Ada beberapa jenis kasih yang ada di dunia, yaitu agape, philia, storge dan eros. Masing-masing mempunyai arti dan sasaran yang berbeda-beda. Tapi setidaknya, benang merah dari semua itu sama, yaitu kita tidak bisa menuntut balas karena telah memberikan kasih kepada seseorang.

Ketika berusaha untuk memahami tentang esensi dari kasih, maknanya sungguh dalam. Apalagi jika menilik dan mengacu pada ungkapan kasih seperti yang terdapat dalam kutipan nasihat Rasul Paulus tersebut. Kasih itu harus sabar, murah hati, tidak cemburu, tidak memegahkan diri, tidak sombong, dan lain-lain. Secara manusiawi, menabur kasih dengan syarat yang seperti itu sungguh sebuah perjuangan yang sangat berat.

Saat mengucapkan janji pernikahan di altar, terus terang saya cukup merinding. Betapa tidak. Karena saat itu saya secara sadar, dengan tangan bertumpu di atas Alkitab, mengucapkan sumpah untuk selalu mencintai pasangan saya baik dalam keadaan untung maupun malang, serta menghormatinya sepanjang umur hidup saya. Dan janji itu sifatnya mengikat.

Kehidupan yang berjalan ini diwarnai dengan hal-hal yang dinamis. Hidup bisa sangat bahagia dengan segala sukacitanya, tapi juga tak menutup kemungkinan harus terduduk lesu karena semangat yang jatuh ketika harus berhadapan dengan kenyataan yang seolah tidak menemukan jalan keluarnya. Pendek kata, suka dan duka pasti akan datang silih berganti dalam kehidupan. Demikian juga dalam kehidupan sebuah pernikahan tak lepas dari semua itu.

Dulu sewaktu masih bujang, saya tidak pernah terpikir bagaimana rasanya ketika harus berbagi hidup dengan seseorang. Dalam konteks ini adalah pasangan hidup. Tidak pernah terpikir bagaimana rasanya rutin setiap hari bertemu dengannya, mulai dari bangun tidur hingga berangkat tidur lagi sehingga saya hafal betul ritme hidupnya. Belum lagi ketika harus bertoleransi dengan kebiasaan yang tidak bisa dihilangkan begitu saja, seperti selalu mendengkur kalau tidur, meletakkan segala sesuatu secara sembarangan, teledor, dan lain-lain kebiasaan yang di luar perkiraan, yang tidak pernah kelihatan waktu masih berpacaran.
Lepas dari semua itu, saya memang tidak bisa menuntut pasangan untuk berubah menjadi manusia seperti yang saya inginkan. Alasan yang pertama, karena saya bukan Tuhan. Yang kedua, karena pasangan saya adalah sebuah ciptaan Tuhan yang unik, dan hanya ada satu-satunya di dunia ini. Ketiga, setiap orang diciptakan dengan kelemahan untuk melengkapi kelebihannya, karena didalam kelemahan itulah kuasa Tuhan akan lebih kelihatan nyata.

Ungkapan kasih seperti yang tertera di atas itu, makin nyata dan bermakna, serta berusaha semakin saya terapkan, ketika kami memulai hidup bersama-sama. Saya harus mewujudkan makna itu dalam kehidupan pernikahan kami. Cinta itu tidak egois, tapi semakin mendewasakan. Kini saya tidak lagi hanya memikirkan kepentingan untuk diri sendiri, karena bagaimanapun sekarang saya sudah punya pasangan hidup yang selalu menyertai kehidupan saya dan selalu memberikan semangat untuk melalui kehidupan ini. Love you, kangmas….

Mencintai Dengan Sepenuh Hati


Manusiawi sekali kalau kita ingin dicintai. Apalagi bagi seorang perempuan. Bila sedang disapa oleh cinta, semua masalah yang sedang melanda seolah sirna tiada berbekas. Cinta memang indah, menggairahkan dan memesona.
Namun kita tidak bisa meminta atau memaksa seseorang untuk mencintai kita seperti apa yang kita inginkan. Satu-satunya cara yang bijak agar kita dicintai adalah dengan melupakan keinginan untuk dicintai dan mulai mencintai.

1. Mencintai berarti merindukannya.
Kerinduan kita menyiratkan betapa berartinya dia bagi kita, sehingga kepergiannya membuat kita merasa kehilangan. Betapa kita ingin selalu bersamanya, dan betapa waktu terasa lama ketika dia tidak berada disisi kita. Ketika dalam waktu yang cukup lama kita tidak bertemu, atau berpisah dengan jarak yang cukup jauh, tidak ada salahnya untuk mengungkapkan kerinduan kita kepadanya. Jangan menahan rasa rindu kita dan jangan biarkan dia menanti ungkapan kerinduan kita.

2. Mencintai berarti memotivasinya.
Itu juga berarti mendorongnya untuk untuk meraih cita-citanya, untuk bangkit dari kegagalan, untuk berani mengambil keputusan penting yang sudah ditundanya, dsb.

3. Mencintai berarti memaafkannya.
Karena dia juga seorang manusia biasa yang bisa salah, maka pemberian maaf adalah salah satu bukti cinta kita padanya. Kita harus belajar untuk mudah memaafkannya setiap kali dia melakukan kesalahan-kesalahan kecil yang tidak prinsipil. Bahkan untuk kesalahannya yang cukup besar pun kita perlu memaafkannya setelah persoalannya dibicarakan secara terbuka. Menyimpan kesalahan akan merusak hubungan cinta yang sudah lama terjalin.

4. Mencintai berarti menyadarkannya.
Meskipun cinta sejati menutupi banyak kesalahan, namun cinta juga mengoreksinya, memperingatkannya dan menegurnya bila dianggap perlu. Ketika dia melakukan hal-hal yang buruk, atau ketika dia hendak mengambil keputusan yang bodoh dan berbahaya, saat itulah kita perlu menyadarkannya.

5. Mencintai berarti peka terhadap keinginan dan kebutuhannya.
Kalau dia seorang yang terbuka, kita akan lebih mudah memahaminya. Tapi kalau dia seorang yang tertutup, sebaiknya kita sering-sering bertanya kepadanya. Jangan sampai tanpa sadar kita mengulang-ulang kebiasaan yang dibencinya, tapi jarang melakukan apa yang disukainya.

6. Mencintai berarti berterimakasih .
Berterimakasih atas kerelaannya menjadi pasangan kita, atas kesetiaannya dan atas pengorbanannya. Kita juga harus menerima dengan penuh penghargaan ungkapan kasih sayang yang ditunjukkannya dalam bentuk apapun. Jangan mematikan gairah cintanya dengan sikap dingin dan pasif. Setidaknya, ungkapan rasa terima kasih itu bisa diwujudkan dengan ucapan yang manis, senyuman hangat atau pelukan sayang.

7. Mencintai berarti mempercayai dan memberinya kesempatan untuk membuktikan ketulusan dan kesetiaannya kepada kita.
Jangan membebani dia dengan rasa cemburu dan rasa takut kehilangan dia. Jangan mengekangnya hanya karena kita kurang mempercayainya.

8. Mencintai berarti selalu berusaha untuk membahagiakannya.
Ketika kita ikut andil dalam membuatnya bahagia, maka kebahagiaannya akan menjadi sebagian dari kebahagiaan kita juga. Jangan pernah berhitung untuk berkorban bagi orang yang kita cintai.

9. Mencintai berarti memberinya kebebasan untuk mengungkapkan perasaan-perasaannya, termasuk keluhan, kemarahan, harapan dan kekecewaannya. Jadilah pendengar yang baik agar kita bisa lebih memahami isi hati dan masalah yang dihadapinya. Jangan biarkan dia memendam perasaannya karena merasa malu dan segan. Jangan biarkan dia membungkam mulutnya karena merasa takut, dan jangan biarkan dia selalu mengalah karena ingin menghindari konflik dengan kita.

10. Mencintai berarti menghargainya dan membuatnya merasa puas menjadi dirinya.
Kita harus menghargai pasangan kita sebagai pribadi yang istimewa. Buatlah hatinya selalu berbunga-bunga dengan pujian dan kekaguman kita padanya. Jangan pernah merendahkan dan menghinanya, meskipun dalam konteks bercanda, lebih-lebih ketika berada di hadapan publik.

Saturday, December 12, 2009

Nasib Cincin Kawin



Saya masih teringat guyonan (atau mungkin juga tekad?) ketika masih belum menikah dulu, tentang cincin kawin. Saat itu saya mengatakan,
kalau menikah nanti tidak ingin memilih cincin untuk lambang ikatannya. Tapi lebih memilih sebentuk gelang kaki, yang saya yakini lebih pas dengan hati dan keinginan saya. Hal itu saya yakini betul bisa terlaksana mulus. Tapi kenyataan berkata lain. Sepasang cincin kawin yang sudah diberkati oleh Romo itu, akhirnya salah satunya harus diselipkan di jari manis tangan kanan saya.

Rupanya tidak hanya saya yang bermasalah dengan cincin kawin itu. Calon suami saya juga mempunyai permasalahannya sendiri. Ia berkata kalau tidak biasa memakai asesoris yang melekat di badannya. Apalagi kalau ada cincin yang menyelip diantara jari-jari tangannya, seolah ada sesuatu yang mengganjal dan mengganggu aktivitasnya. Karenanya ia bertekad pula, kalau setelah acara pemberkatan nanti, cincin itu akan dilepas dan disimpan saja.

Karenanya, kurang tiga minggu dari hari pemberkatan perkawinan, kami berdua seolah tidak kebingungan memesan cincin. Karena kami beranggapan kalaupun tidak memakai cincin juga tidak masalah. Bagi kami, arti dari perkawinan itu lebih pada meneguhkan komitmen bersama, dan cincin itu hanyalah sebagai perlambangnya. Itulah mengapa sampai akhir menjelang hari-hari terpenting itu tiba, cincin tidaklah masuk dalam skala prioritas utama.

Sampai ketika saatnya kami harus bertemu lagi dengan Romo untuk persiapan pembuatan liturgi pemberkatan. Dalam tata ibadah itu disebutkan ada bagian pemberkatan cincin perkawinan. Saya terhenyak. Wah, ini berarti harus pesan cincin. Pertanyaan lain pun mulai beterbangan di angan saya. Apakah waktunya cukup untuk memesan cincin yang sesuai dengan keinginan? Bagaimana modelnya? Berapa beratnya? Pesan dimana?

Dalam waktu yang sesingkat itu, akhirnya kami memutuskan untuk memesan cincin. Tapi masih ada kesulitan lain yang harus dihadapi. Kami tidak pernah bisa jalan dan pergi bersama untuk mewujudkan niat tersebut, karena tenggat waktu pekerjaan masing-masing yang tidak bisa ditawar. Belum lagi mobilitas dari kota ke kota yang menyita waktu kami sehingga tidak bisa sering bertemu. Akhirnya calon suami menyerahkan soal cincin kawin itu seluruhnya kepada saya. Intinya dia ngikut aja. Aduh, saya sempat jengkel dengan keputusannya. Soalnya ini kan menyangkut kepentingan bersama. Tapi ya mau bagaimana lagi?

Saya pun akhirnya memesan cincin di Malang, dengan pertimbangan kalau pesanan sudah jadi tapi saya belum sempat mengambilnya, masih bisa minta tolong adik untuk mengambilkannya. Tidak seperti calon pengantin lain yang biasanya memesan cincin perkawinan bersama-sama, kini saya pun harus kebingungan sendiri menentukan model dan beratnya serta ukuran jari calon suami. Kalau mengingat itu, rasanya gemes. Urusan memesan dan mendesain cincin itu pun menghabiskan waktu hampir dua jam. Dan dipastikan pesanan akan jadi dalam waktu 10 hari. Itu berarti kurang tiga hari dari waktu pemberkatan. Hasilnya, cincin untuk calon suami saya kebesaran jika dipasang di jari manis kanan! Belum lagi modelnya yang tidak persis dengan bayangan saya.

Hari Minggu yang telah direncanakan itu tiba. Acara pemberkatan berjalan lancar, hingga sampai pada bagian pemberkatan cincin. Setelah dua cincin itu diberkati, Romo pun menyerahkan satu persatu kepada kami, untuk saling mengenakan pada jari manis kanan masing-masing. Sambil memasukkan cincin ke jari pasangan, kami pun mengucapkan, “Terimalah cincin ini sebagai lambang cinta dan kesetiaanku padamu.”

Lambang cinta dan kesetiaan? Ya, hanya lambang. Justru arti sesungguhnya dari itu semua adalah komitmen untuk tetap menjaga cinta dan kesetiaan kepada pasangan. Walaupun di sisi dalam cincin itu terukir nama kami berdua dan angka 081109 sebagai tanggal keramatnya, tapi fungsi itu semua tak lebih dari sebuah monumen.

Tentang kebiasaan cincin kawin yang dilingkarkan di jari manis kanan, saya juga kurang merasa cocok. Kini cincin itu pindah ke jari telunjuk sebelah kiri, sementara punya suami malah di jari tengah kanan gara-gara ukurannya yang terlalu besar itu.

Yah, apapun itu, tentang cincin kawin yang memang sudah niat dipesan apalagi sudah diberkati memang tetap haruslah dipakai. Kalaupun maunya tidak dipakai dan hanya disimpan saja di lemari, apakah tidak ada pilihan lain yang lebih tepat? Kalau saya sih punya pilihan, lebih baik dilego saja....

Sejarah Cincin Kawin


Tradisi cincin kawin sudah berlangsung ribuan tahun yang lalu. Cincin kawin digambarkan sebagai tanda ikatan cinta antara seorang laki-laki dan perempuan. Memang tidak ada data pasti yang menyebutkan sejak kapan cincin digunakan sebagai bagian dari ritual sebuah perkawinan. Tapi sejumlah literatur menyebutkan pada jaman Romawi kuno banyak pasangan yang menggunakan lempeng besi sederhana sebagai tanda ikatan. Mereka percaya lingkaran cincin sebagai simbol cinta abadi.

Penggunaan cincin kawin itu juga tergambar dalam budaya Mesir kuno, seperti yang tertera dalam tulisan hiroglif di dinding makam yang ditemukan oleh para peneliti arkeologi. Umumnya lingkaran cincin itu terbuat dari logam keras yang diberi hiasan batu.

Dipercayai cincin kawin terkecil yang pernah dibuat adalah untuk Princess Mary, putri King Hennry VIII, yang dipinang oleh putra King Francis I. Upacaranya sendiri dilangsungkan pada tanggal 5 Oktober 1518. Saat itu Princess Mary masih berumur dua tahun, sementara suaminya baru lahir pada tanggal 28 Februari 1518.

Cincin kemudian dipakai sebagai bagian dalam upacara pemberkatan perkawinan kristiani pada sekitar tahun 870, yang diawali oleh bangsa Ibrani.

Tentang jari tempat cincin kawin itu ada bermacam-macan kebiasaan, yang tentunya didasarkan pada budaya masing-masing, dan tentunya disertai alasan tersendiri. Dalam fabel Yunani disebutkan pemakaian cincin itu pada jari keempat sebelah kiri. Itu dilakukan karena diyakini bahwa di jari manis tersebut terdapat pembuluh darah, disebut vena amoris yang artinya pembuluh cinta. Tapi sayangnya kepercayaan seperti itu tidak bisa dibuktikan secara ilmiah. Tapi berbeda ketika era Elizabethan, yang justru memasang cincin kawin di ibu jari.

Sementara itu kebiasaan meletakkan cincin di jari manis kanan dilakukan oleh orang Kolumbia, Denmark, Jerman, Yunani, Haiti, Hungaria, Mexico, Norwegia, Peru, Polandia, Rusia, Spanyol (kecuali Katalonia), Makedonia, Ukraina, Venezuela dan Serbia. Sedangkan kaum Kristen ortodoks dan penduduk Eropa bagian timur (kecuali Roma) secara tradisional memakai gelang ikatan di tangan kanan. Perempuan Yahudi memakai cincin kawin di tangan kiri, walaupun pada saat upacara penyematan diletakkan di tangan kanan.

Di Belanda, untuk tradisi katolik, cincin dikenakan di tangan kiri, sedangkan tradisi protestan justru di tangan kanan. Sementara di Austria, penganut katolik justru mengenakan cincin di tangan kanan. Di Belgia pilihan penempatan cincin kawin disesuaikan dengan areanya. Orang-orang Yunani yang penganut Kristen Ortodoks tetap memakai cincin kawin di tangan kanan, sesuai dengan tradisi Yunani.

Pemakaian cincin di jari kanan pada orang Romawi juga didasarkan pada referensi kitab sucinya. Disitu secara tersirat diterangkan bahwa tangan kiri itu punya konotasi negatif, sementara tangan kanan lebih ke arah yang baik.

Di India yang kebanyakan penganut Hindu, ada cincin yang dikenakan di hidung, disebut bichiya. Cincin ini hanya dikenakan oleh kaum perempuan. Untuk cincin kawin yang dipasang pada jari, biasanya menyatu dengan bichiya ini. Sedangkan di India bagian timur, terutama di Bengal Timur, ada sebuah gelang yang dilingkarkan di tangan, yang disebut loha, dan hanya dipakai kaum perempuan. Dalam perkembangannya, loha ini kemudian dilapisi dengan emas atau perak untuk mempercantik tampilannya.

Wednesday, December 9, 2009

The Story of Tiger : Two Brother


Saat hendak bangun tadi pagi, rasanya tubuh ini enggan sekali untuk diajak kompromi. Betapa tidak. Mata ini baru bisa terkatup rapat saat jam hampir menunjukkan pukul dua dini hari. Apalagi ketika mendengar suara TV sudah dinyalakan, rasanya masih ingin memeluk bantal kembali. Kulirik ke sebelah, ternyata suamiku sudah bangun dan menonton TV sambil menikmati roti sarapan paginya. Tahu kalau aku membuka mata dengan berat hati, dengan simpatik ia menawarkan rotinya.

Walaupun mata masih berat, tapi kupaksa pandanganku kuarahkan ke layar TV yang sedang menayangkan sebuah film. Tanpa mengucapkan sepatah kata, aku pun berusaha mengikuti jalan cerita film tersebut. Lama-lama ketertarikanku bertambah besar karena ternyata di film itu, yang menjadi lakonnya adalah para harimau. Wuahhhh....luar biasa. Setting film itu sendiri menampilkan keindahan alam yang masih perawan di Thailand. Harimau yang ditampilkan pun juga sama persis dengan harimau sumatera yang loreng-loreng itu.

Tak terasa, mata yang tadinya malas diajak membuka itu, kini tanpa sadar pun terbuka lebar-lebar. Sisa-sisa kantuk seolah kandas dengan tertawannya perhatian pada sosok harimau loreng yang sungguh gagah dan cakep itu.

Sebetulnya jalan cerita film, yang akhirnya kuketahui berjudul Two Brother itu, tidak terlalu kuketahui dengan detail. Tapi secara garis besar, pesan yang dibawa adalah lindungilah spesies harimau yang sudah hampir punah itu.

Diceritakan, ada seekor harimau betina yang punya dua anak. Sebut saja nama dua anaknya itu Sangha dan Kumar. Sejak kecil anak-anak itu hidup bersama dalam asuhan induknya. Mereka belajar untuk mempertahankan hidup di rimba yang penuh dengan persaingan. Hingga pada suatu saat, sang induk dan Sangha terjatuh dalam jebakan yang dipasang oleh tim penjebak atas perintah anggota keluarga kerajaan Thailand. Rencananya mereka akan dipersembahkan sebagai kenang-kenangan untuk seorang pembesar dari Perancis.

Sebelum dievakuasi oleh tim penjebak itu, sang induk berhasil meloloskan diri, walaupun telinga sebelah kirinya sempat bolong karena peluru tembakan yang dilontarkan oleh salah satu anggota keluarga kerajaan Thailand. Sementara Sangha kecil sempat sebentar bisa bersembunyi di dalam sebuah gua, sebelum akhirnya tertangkap dan nasibnya berakhir dijual kepada sebuah klub sirkus setelah ia membuat keonaran di dalam rumah keluarga pembesar Perancis itu.

Singkat cerita, kehidupan Sangha dalam kelompok klub sirkus, hari-harinya dipenuhi dengan latihan. Ia dituntut patuh kepada perintah yang diberikan oleh pawangnya. Ia tidak boleh menolak ketika harus menunjukkan kebolehannya berdiri di atas dua kaki belakangnya dengan dua kaki depannya terangkat ke atas seolah-olah sedang bertepuk tangan. Juga tidak bisa berontak ketika sang pawang memberinya perintah untuk melompati lingkaran api. Kalaupun ia melawan, maka hukuman dan perlakuan kasar pasti diterimanya. Sosok Sangha pun menjadi seekor harimau yang terkebiri hak hidupnya. Ia bukan lagi seekor raja hutan.

Di negeri Thailand ada tradisi pertarungan harimau. Sebelumnya kerajaan sudah punya seekor harimau koleksi yang dikenal galak. Bahkan tidak ada seorang pun yang berani mendekatinya. Karenanya ia dikurung bersama-sama dengan binatang koleksi lainnya di sebuah ruangan bawah tanah, dengan dikelilingi kandang yang terbuat dari besi.

Untuk mencarikan musuh itu, maka sebuah kabar disebar di seluruh negeri. Intinya, dicari sebuah harimau galak yang akan diadu dengan harimau koleksi kerajaan. Akhirnya Sangha pun dibeli oleh kerajaan untuk meramaikan arena.

Ketika tiba hari pertarungan itu, Sangha terlihat seperti seekor pecundang. Ia hampir lari terbirit-birit ketika melihat musuhnya dikeluarkan dari kandang. Tapi perasaan takut itu bisa diatasinya. Dan berikutnya pertarungan sengit pun terjadi. Penonton yang menyaksikan dibuat tegang. Tapi itu hanya berlangsung sebentar. Memori ingatan keduanya seolah dipulihkan. Mereka merasa bahwa diantara keduanya ada ikatan emosional. Ternyata harimau yang menjadi koleksi kerajaan itu adalah Kumar, saudaranya sendiri. Perkelahian itu pun tak jadi berlangsung, yang ada mereka malah bersenda gurau seraya berguling-guling di arena.

Mendapati kenyataan seperti itu, pegawai kerajaan pun marah. Mereka pun memaksa keduanya agar terus berkelahi. Tapi perlawanan dilakukan oleh keduanya, hingga mereka bisa lolos bersama. Sepanjang perjalanan melarikan diri itulah banyak hal-hal lucu. Karena terlatih di kehidupan sirkus yang menuntut ketangkasan, Sangha pun dengan gampangnya meloloskan diri dari jebakan api yang dibuat oleh para pemburu. Kumar yang tidak biasa dengan hal itu, seolah mendapatkan semangat baru dengan kehadiran Sangha, hingga ia pun bisa melompati api yang semula ditakutinya.

Akhir cerita, keduanya bisa kembali ke hutan dan memulai kehidupan yang sesungguhnya. Dan seperti film-film yang berakhir bahagia, mereka berdua pun akhirnya bertemu kembali dengan induknya yang telinga sebelah kirinya bolong itu.

Harimau Sumatra


 Harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae) merupakan subspesies harimau yang berukuran paling kecil yang masih hidup hingga saat ini. Harimau jantan mempunyai panjang kira-kira 204 cm (6 feet 8 inchi) jika diukur mulai dari kepala hingga ujung ekor, dengan berat badan sekitar 136 kg (300 lb). Sedangkan untuk yang betina mempunyai panjang 198 cm (6 feet 6 inchi) dengan berat kira-kiraa 90 kg (200 lb).

Loreng yang dipunyainya berukuran lebih lebar daripada subspecies harimau yang lain. Mukanya juga lebih penuh dengan kumis dan cambang, terutama untuk harimau jantan. Ukurannya yang lebih kecil memungkinkan gerakannya lebih lincah menyusur hutan tropis. Diantara jari-jari kakinya ada selaput, sehingga harimau ini juga disebut sebagai perenang ulung. Dengan kepiawaiannya itu, mangsa yang hidup di air pun bisa ditangkapnya.

Mangsa harimau umumnya binatang besar seperti babi hutan, tapir dan rusa. Tapi hewan kecil seperti monyet, unggas dan ikan pun kadang disantapnya. Sementara itu orangutan jika seringkali menghabiskan waktu di atas tanah, tak menutup kemungkinan akan pula ditangkapnya.

Harimau sumatera hanya ditemukan di Sumatera. Jumlah populasinya sekarang ini kira-kira tinggal 400 ekor, dan hidup dalam kawasan perlindungan di sebuah taman nasional. Populasi terbesarnya berada di Taman Nasional Gunung Leuser, dengan jumlah kira-kira 110 ekor. Sementara kira-kira ada 100 ekor lagi hidup tanpa perlindungan sama sekali. Harimau sumatera termasuk salah satu jenis satwa asli Indonesia yang dilindungi karena keberadaannya sudah hampir punah.

Jenis Harimau


Harimau dikenal sebagai jenis kucing terbesar. Ada sembilan subspecies harimau dalam genus Panthera. Enam diantaranya masih hidup pada masa sekarang. Tiga subspecies harimau selebihnya telah dianggap punah secara resmi.

Subspecies yang masih hidup itu adalah
1. Harimau Indochina (Panthera tigris corbetti), terdapat di kawasan hutan hujan dan padang rumput Malaysia, Kamboja. Republik Rakyat Cina, Laos, Myanmar, Thailand dan Vietnam.
2. Harimau Bengal (Panthera tigris tigris), terdapat di kawasan hutan hujan dan padang rumput Bangladesh, Bhutan, Republik Rakyat Cina, India dan Nepal.
3. Harimau Cina Selatan (Panthera tigris amoyensis), tinggal di kawasan hutan hujan dan padang rumput tengah dan barat Republik Rakyat Cina.
4. Harimau Siberia (Panthera tigris altaica), atau juga dikenal sebagai Amur, Ussuri, Harimau Timur Laut Cina, atau Harimau Manchuria. Jenis ini tinggal di kawasan hutan hujan dan padang rumput Cina, Korea Utara dan Asia Tengah di Rusia.
5. Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae), tinggal hanya di kepulauan Sumatera, Indonesia.
6. Harimau Malaya (Panthera tigris jacksoni), hanya ada di Semenanjung Malaysia.

Sementara itu jenis-jenis yang sudah punah adalah
1. Harimau Caspian (Panthera tigris virgata), yang telah punah sekitar tahun 1950-an. Dulunya hidup di kawasan hutan hujan dan padang rumput Afganistan, Iran, Mongolia, Turki dan kawasan Asia Tengah Russia.
2. Harimau Jawa (Panthera tigris sondaica), telah punah sekitar tahun 1972. Jenis ini hanya ditemukan di kawasan hutan hujan Pulau Jawa, Indonesia.
3. Harimau Bali (Panthera tigris balica), telah punah sekitar tahun 1937, dan hanya hidup di hutan hujan Pulau Bali, Indonesia.

Harimau adalah hewan nasional dari beberapa negara, walaupun disebut secara tidak resmi. Negara-negara itu antara lain Cina (bersama naga dan panda), Bangladesh (harimau bengal), India (harimau bengal), Malaysia, Nepal (harimau bengal), Korea Utara (harimau siberia), dan Korea Selatan.