Tuesday, September 11, 2007

Tidak Ada Bakwan Malang di Malang


Tidak Ada Bakwan Malang di Malang

Bakwan malang bisa jadi terkenal diantero luar kota Malang. Namun saat menyusuri kota Malang sendiri, jangan harap bisa dengan mudah menemukan yang namanya bakwan malang. Yang ada malah makanan yang disebut bakso. Ya, itulah bakso, salah satu makanan yang harus dicoba ketika mampir di kota Malang.

Bakso bisa jadi ditemukan di mana saja. Di pinggir-pinggir jalan hingga di mall jenis makanan yang satu ini pasti ada penjualnya. Di berbagai kota bakso juga mempunyai kekhasan tersendiri. Sebut saja bakso solo, yang menawarkan bulatan-bulatan daging diantara tumpukan bihun dan sayur dengan siraman kuah beningnya. Masih ada lagi bakso ala Yogyakarta yang menyelipkan tahu dan bakso goreng diantara mi dan bihun sebagai pelengkapnya. Sebaliknya bakso khas Wonogiri berbeda lagi, karena tidak ada tahu dan bakso goreng di dalamnya. Sementara di Sunda dalam semangkuk bakso selalu diberi campuran taoge.
Salah satu kota di Indonesia yang terkenal dengan baksonya adalah Malang. Malang terletak di Provinsi Jawa timur, kira-kira berjarak 90 km dari Surabaya, ke arah selatan, yang bisa ditempuh dalam waktu 1,5 jam perjalanan berkendara mobil. Malang yang terletak di dataran tinggi dan berhawa sejuk ini bisa jadi sebagai salah satu alasan mengapa bakso bisa menjadi ikonnya. Memang tak dimungkiri nikmatnya kala badan merasa kedinginan lantas menyantap bakso yang kuahnya hangat. Hmmm, betapa nyaman hidup ini.
Saat berkunjung ke kota Malang, penggemar berat bakso bisa jadi dimanjakan dengan banyaknya pilihan sajian tersebut. Tidak hanya bakso yang berkelas depot atau restoran yang bisa dinikmati, bahkan bakso-bakso yang didorong dengan gerobak dan menyusur jalan-jalan di kampung pun boleh jadi mendapatkan pujian rasa. Itulah Malang, kota yang telah lekat dengan ikon bakso.

Bisnis Rumahan Hingga Waralaba
Bisnis bakso di Malang pun setidaknya sudah tumbuh sejak puluhan tahun yang lalu. Beberapa diantaranya masih eksis sampai sekarang, bahkan perkembangannya sungguh mengagumkan. Salah satunya adalah Bakso Kota Cak Man, yang telah dijadikan sebagai kegiatan bisnis waralaba. Bahkan untuk menunjang popularitasnya itu, sang pemiliknya membuat hal spektakuler dengan membuat pentol bakso berukuran raksasa. Bakso berdiameter 1,65 meter dengan keliling 4,64 meter tersebut masuk dalam rekor MURI (Museum Rekor Indonesia) sebagai bakso terbesar yang pernah dibuat.
Namun demikian bukan berarti bisnis yang digarap secara besar-besaran saja yang bisa memberikan keuntungan. Dalam skala rumah tangga pun tidak menutup kemungkinan bisa meraup keuntungan di luar perkiraan orang awam. Apalagi bila usaha itu sudah mendapatkan kepercayaan dan perhatian dari masyarakat atau kaum penggemar fanatiknya. Bisnis yang telah dirintisnya sejak bertahun-tahun lalu pun bisa berputar dan bergulir hingga sekarang.
Kini dengan memiliki beberapa gerai yang telah ada di luar kota, penikmat bakso tidak usah jauh-jauh datang ke Malang kalau hanya ingin menikmati lezatnya Bakso Kota Cak Man. Namun kalau ingin lebih afdol, ya sebaiknya berkunjung ke Malang dan membuktikan sendiri betapa hebatnya hidangan bakso Malang itu.

Yang Harus Dikunjungi
Dulmanan, perintis usaha bakso stasiun, yang lokasi warungnya terletak di deretan kios pedagang di Stasiun Kota Baru Malang, bisa jadi contohnya. Ia mulai bisnisnya pada tahun 1966. Tahun 1970 ia menyewa tempat di sebelah stasiun. Hingga sekarang ia masih tetap eksis dengan mengandalkan bakso yang dilengkapi dengan siomai goreng berisi rebung. Untuk makan di warung yang sekarang telah dialihkelolakan pada puteranya, pengunjung harus siap dengan bau asap di sekitarnya. Cara memasak secara tradisional dengan menggunakan arang memang masih dipertahankan untuk menjaga cita rasa baksonya. Namun sayang, bagi pengunjung yang sudah ngiler dengan rasa lezat dan gurih gorengan berisi rebung harus bersabar menunggu hingga jam 10 siang. Karena sebelum itu gorengan belum jadi.
Bisnis bakso lain yang juga terbilang jadul adalah warung Bakso Presiden. Disebut demikian karena awalnya Abdul Ghoni Sugito, sang pemilik, berjualan bakso pikulan di depan gedung bioskop Presiden. Kini walaupun gedung tersebut sudah tidak ada dan berganti menjadi Mitra II, nama Bakso Presiden tetap melekat dan merupakan keberuntungan baginya.
Bakso Presiden pusatnya persis berada di belakang pusat perbelanjaan Mitra II, masuk kurang lebih 100 meter di gang kecil sebelah pusat perbelanjaan itu. Uniknya, karena warung ini bersebelahan dengan rel kereta api jurusan Surabaya/Jember-Malang, mangkuk dan meja pun terasa bergetar saat ada kereta api lewat. Wah, pengalaman yang tidak bisa dilupakan kali ya, makan bakso disela-sela gemuruh kereta api. Di tempat ini ditawarkan bermacam-macam jenis selain pentol bakso. Ada siomai goreng dan basah, ampela hati ayam dan jerohan serta kulit sapi, hingga lontong bagi yang kurang kenyang kalau hanya terganjal bakso. Tak ketinggalan juga bakso urat dan tulang muda pun tersedia. Bahkan bagi pengunjung luar kota, disediakan pula keripik bakso yang telah dikemas apik.

Fenomena Bakso Malang
Selain bakso-bakso yang telah dikenal reputasinya itu, di Malang kini juga tumbuh menjamur bakso-bakso jenis yang lain. Sebut saja antara lain Bakso Gondhol yang menjadi fenomena baru. Disebut demikian karena dulunya penjualnya, yang juga pemiliknya, suka menggundul rambutnya. Maka untuk mengindentifikasi dan membedakan dari yang lain, pembeli pun menjulukinya sebagai bakso gundul. Tapi perlu diketahui kalau bakso ini menggunakan bahan dari daging babi. Oleh karena itulah di papan nama tempat usahanya, selalu disertai keterangan chinesee food.
Ada juga bakso Damas, yang menawarkan menu hampir mirip dengan Bakso Presiden. Hanya saja kuahnya lebih enteng dan cair seperti sup. Bagi yang suka dengan kuah cair dan bening bisa jadi alternatif untuk mencobanya.
Bakso keju dan bakso bakar bisa jadi menjadi alternatif lain bagi yang suka bertualang dengan rasa. Bakso bakar sendiri sudah dikenal lama di Malang, namun masih kalah tenar dengan bakso konvensional, bakso dengan kuah. Bentuk bakso bakar sendiri lebih mirip dengan pentol bakso yang ditusuk-tusuk seperti sate, namun tusukannya dari bambu yang berukuran lebih panjang daripada sate biasanya. Diberi bumbu bawang, kecap dan saus, deretan pentol dalam tusukan itu pun dipanggang diatas bara api. Bakso bakar bisa dimakan begitu saja, dicocolkan saus tomat, atau bisa juga dicemplungkan kedalam kuah bakso.
Bila ingin menikmati menu ini, Bakso Bakar Trowulan, yang terletak di dekat kampus STIE Malangkuceswara, bisa jadi rujukannya. Namun kalau ingin juga menikmati segi historisnya, bisa jadi bakso bakar yang berada di dekat SMP Negeri 2 Malang, kira-kira letaknya di belakang Pasar Besar Malang, adalah tempat yang tepat. Kalau tidak mau repot jauh-jauh masuk ke tengah kota, bakso bakar yang ada di Jalan Diponegoro bisa jadi alternatifnya. Pengelola dua tempat terakhir itu sama.
Sementara yang terbaru adalah bakso keju. Bagaimana rasanya? Silakan saja mencoba, pasti ada rasa-rasa geli di lidah. Campuran rasa antara daging dan keju yang gurih dan asin bisa menjadi sensasi tersendiri. Bagi penikmat bakso konvensional, mungkin rasanya agak aneh. Tapi itulah. Usaha untuk memperkaya kuliner Indonesia dengan kreativitas memang perlu dilakukan. Bakso keju di Malang bisa dicari di kawasan jalan Kawi atau di seputaran jalan Soekarno Hatta. Mari berburu bakso dan mengapresiasinya.

Bakso, Albondigas dan Frikadeller


Bakso, Albondigas dan Frikadeller

Sebutan bakso sudah melekat di telinga orang Indonesia. Umumnya bentuknya berupa bulatan-bulatan dari daging dan disiram kuah bening seperti sup. Namun adakalanya cara makannya diberi variasi jenis yang lain, misalnya ditambah tahu, siomai goreng maupun yang basah, bihun atau sayuran. Bahkan sekarang ini ada lagi yang memadukannya dengan keju.

Bermacam-macam cara menghidangkan bakso untuk menambah selera dan kekhasannya masing-masing. Di tiap kota Indonesia sekarang ini sepertinya sudah mempunyai ikon tersendiri untuk makanan yang namanya bakso. Awalnya bakso merupakan salah satu kekayaan kuliner yang dimiliki oleh bangsa Cina. Kata bakso sendiri merupakan serapan dari bahasa Cina, yang dalam beberapa dialek merupakan sebutan untuk daging babi. Bermula dari daerah Cina bagian utara, sebutan bakso itu pun pelan-pelan bergulir ke kawasan Asia Tenggara hingga tiba di Indonesia.
Mengikuti perkembangan dan adaptasi wilayah yang dihampirinya, akhirnya bakso itu pun tidak lagi melulu terbuat dari daging babi. Bahkan di Indonesia bakso sudah mendapatkan tempat tersendiri bagi penggemarnya, dan bisa jadi dikategorikan sebagai salah satu makanan dari Indonesia yang wajib dicicipi. Kini ada berbagai sebutan bakso, misalnya bakso udang yang terbuat dari udang, bakso ikan karena terbuat dari daging ikan, bakso ayam dengan bahan dasar daging ayam, serta masih banyak lagi jenis bakso yang dibuat dari daging-daging lainnya.
Komponen utama dalam makanan bakso ini adalah bulatan-bulatan daging, sering disebut pentol, disertai dengan kuah bening. Makanan sejenis bakso Indonesia itu rupanya tidak hanya ada di sini. Di beberapa negara yang lain juga mengenal makanan yang hampir mirip, namun dengan sebutan yang berbeda.
Di Denmark, mereka menyebut bakso sebagai frikadeller, yang terbuat dari daging babi. Gilingan daging tersebut dicampur dengan bawang putih, telur, merica dan garam. Adonan itu kemudian dibentuk bulat-bulat dan sedikit dipipihkan. Bedanya, bulatan-bulatan tersebut tidak dijerang dalam air mendidih, tetapi dioven.
Sementara di Afganistan pentol bakso dipakai untuk topping pizza. Bulatan-bulatan tersebut dipanggang di atas pizza, yang populer disebut Afgan pizza. Makanan ini sangat populer disana. Namun tak jarang juga ibu-ibu Afganistan memasak bulatan daging itu berbentuk seperti sup, persis seperti hidangan bakso ala Indonesia.
Di Meksiko dan Spanyol, bakso dinamai albondigas, yang merupakan turunan dari bahasa Arab, al-bunduq (artinya hazelnut, atau sejenis barang yang berbentuk bulat). Albondigas sendiri diduga merupakan masakan yang berasal dari Berber atau Arab, yang kemudian diimpor ke Spanyol saat terjadinya syiar agama, atau disebut sebagai periode muslim kala itu. Di Spanyol, albondigas dihidangkan sebagai makanan pembuka maupun menu utama, seringkali disertai dengan tambahan saus tomat. Sementara di Meksiko penyajiannya lebih mirip sup bening disertai dengan sayur-sayuran.
Di China sendiri, pentol bakso mempunyai ukuran yang bermacam-macam. Mulai dari yang berdiameter 5 cm hingga kira-kira 10 cm. Pentol bakso yang ukuran kecil dipakai untuk campuran sup, sementara yang agak besar dihidangkan untuk perlengkapan dim sum. Pentol daging yang besar seringkali disebut sebagai Lion's head dalam istilah kulinari Shanghai. Cara membuat pentol tersebut adalah dengan memasukkan bulatan-bulatan daging ke dalam air yang mendidih. Setelah gumpalan daging mengapung, barulah diangkat. Pentol bakso pun siap untuk dihidangkan.

Friday, September 7, 2007

Tana Toraja


Tana Toraja-Tanah Kerajaan Surga

Pemerintah Kabupaten Tana Toraja menggelar Festival Tana Toraja 2007 selama sebulan penuh, dimulai sejak 1 hingga 31 Agustus . Perayaan kegiatan digelar mulai tingkat lembang (kampung), desa/kelurahan, kecamatan, hingga kabupaten. Namun puncak perayaan dilangsungkan pada 31 Agustus 2007 akan dipusatkan di Lapangan Komando Daerah Militer (Kodim) Rantepao. Sejumlah kegiatan akan dipertunjukkan, di antaranya pagelaran seni dan budaya, pameran, karnaval, dan aneka upacara adat.



Sekretaris Daerah Kabupaten Tana Toraja YS Dalipang yang juga ketua panitia penyelenggara Festival Tana Toraja 2007 mengatakan, hajatan itu merupakan bagian dari memperingati Hari Jadi Tana Toraja dan Hari Ulang Tahun Emas Ke-50 Kabupaten Tana Toraja. "Festival ini dimaksudkan untuk mengenalkan secara mendalam tentang Tana Toraja dan segala peristiwa bersejarahnya serta guna meningkatkan rasa cinta dan kerinduan untuk membangun dan bangga dengan Tondok atau negeri dan budaya Tana Toraja.”
Bupati Tana Toraja Johannis Amping Situru juga menghimbau agar masyarakat Toraja di mana pun berada maupun mereka yang penasaran ingin mengetahui budaya orang Toraja datang menyaksikan Festival Tana Toraja.
Hal itu juga dimaksudkan agar semboyan bersejarah Misa' Kada Dipotuo Pantan Kada Dipomate bisa tetap hidup dan menjadi inspirasi bagi kreativitas dan hikmat setiap orang Toraja atau siapa pun yang membanggakan alam dan budaya Toraja.
Perjalanan dari Makassar ke Toraja melewati jalur pesisir sepanjang 130 km mendaki pegunungan. Setelah memasuki Tana Toraja, pengunjung akan disuguhi pemandangan alam yang penuh dengan keagungan. Batu grafit dan batuan lainnya tampak di beberapa tempat, serta birunya pegunungan di kejauhan. Setelah melewati pasar Desa Mebali akan terlihat masyarakat yang sedang beternak domba sehingga pemandangan terlihat kontras dengan padang rumput yang hijau subur, limpahan makanan di tanah tropis yang indah. Ini adalah Tana Toraja, salah satu tempat wisata terbaik di Indonesia.
Tana Toraja memiliki kekhasan dan keunikan dalam tradisi upacara pemakaman yang biasa disebut Rambu Tuka. Di Tana Toraja mayat tidak di kubur melainkan diletakan di Tongkonan (rumah adat) untuk beberapa waktu. Jangka waktu peletakan ini bisa lebih dari 10 tahun sampai keluarganya memiliki cukup uang untuk melaksanakan upacara yang pantas bagi si mayat. Setelah upacara, mayatnya dibawa ke peristirahatan terakhir, di dalam gua atau dinding gunung. Tengkorak-tengkorak itu menunjukan pada kita bahwa mayat itu tidak dikuburkan tapi hanya diletakan di batuan, atau dibawahnya, atau di dalam lubang. Biasanya, musim festival pemakaman dimulai ketika padi terakhir telah dipanen, umumnya di akhir Juni atau Juli, dan paling lambat bulan September.
Untuk menuju kesana bisa dilakukan dengan beberapa alternatif perjalanan. Jika menggunakan perjalanan udara, dimulai dari lapangan terbang Hassanudin, Makasar, diteruskan ke lapangan terbang Rantepao didekat Makale, 24 km arah selatan Rantepao dan dari sana akan ada layanan bus ke kota.
Sementara untuk perjalanan darat dari Makassar ke Rantepao bisa tiap hari dengan menggunakan bis, memakan waktu perjalanan selama kurang lebih delapan jam termasuk istirahat untuk makan. Tiket harus dibeli di kota, tapi berangkat dari terminal bis Panaikan, 20 menit keluar dari kota dengan menggunakan bemo. Bis ini biasanya pergi pada pagi hari ( jam 7 pagi), siang hari ( jam 1 siang) dan pada malam hari (jam 7 malam). Biasanya bis yang berangkat disesuaikan dengan jumlah penumpang.
Perjalanan bisa juga ditempuh dari laut dengan menggunakan kapal yang berhenti di pelabuhan Pare-Pare. Dari situ dilanjutkan dengan bus mini ke Rantepao, selama kurang lebih tiga jam perjalanan.